Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumitnya Politik Bosnia, Negeri dengan Tiga Presiden

Kompas.com - 08/10/2018, 13:50 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

Sumber AFP

KOMPAS.com - Pada 1990-an, sebuah negara federasi bernama Yugoslavia yang terdiri dari enam negara bagian berbasis etnis runtuh.

Perpecahan negeri di Semenanjung Balkan ini memicu perang saudara yang amat berdarah, salah satunya adalah Perang Bosnia (1992-1995).

Selama tiga tahun, tiga etnis utama negeri itu Serbia, Kroasia, dan Muslim Bosnia saling bunuh dengan cara yang amat brutal.

Baca juga: Politisi Serbia Pro-Pemisahan Menangkan Pemilu Bosnia

Meski Perjanjian Dayton (1995) yang disponsori Amerika Serikat bisa meredam perang, tetapi api permusuhan tiga etnis itu tak sepenuhnya padam.

Sebab, meski secara fisik perang berakhir, negeri ini akhirnya mewarisi sistem politik yang rumit yang menciptakan sebuah kesatuan lemah antara ketiga etnis itu.

Negeri itu terdiri dari  dua zona semi-otonomi yang "disatukan" oleh pemerintahan pusat yang lemah.

Dua entitas yang terpisah itu adalah Republika Sprska dengan penduduknya didominasi etnis Serbia dan Federasi Kroasia-Muslim di sisi lainnya.

Kondisi ini menciptakan sistem politik yang rumit sebab akhirnya untuk mengakomodasi ketiga etnis itu Bosnia memiliki tiga presiden, dua wakil presiden, lima parlemen, dan 10 dewan kanton (setingkat provinsi).

Ketiga politisi yang duduk di lembaga kepresidenan setiap delapan bulan bergantian untuk menjadi ketua.

Kerumitan sistem politik Bosnia ini tercermin dalam pemilihan umum yang digelar pada Minggu (7/10/2018).

Untuk memiliki pemerintahan pusat, warga harus memilih anggota dua parlemen dan lembaga kepresidenan yang mewakili ketiga etnis.

Kemudian pemerintah di kedua "entitas" Bosnia menentukan jalannya pemerintahan sesuai dengan jalur etnisnya.

Di Republika Sprska, yang didominasi etnis Serbia, para pemilik suara memilih anggota parlemen, seorang presiden, dan dua wakil presiden.

Di federasi Muslim-Kroasia, digelar pemilihan untuk anggota parlemen dua kamar yang akan menunjuk seorang presiden dan dua wakil presiden.

Para pemilik suara juga memilih politisi yang akan duduk di kursi dewan seluruh 10 kanton atau provinsi,

Pemerintahan pusat memiliki wewenang dalam hal militer, sistem peradilan, kebijakan fiskal, perdagangan internasional, dan diplomasi.

Namun, tiap entitas etnis juga diizinkan memiliki kepolisian, sistem pendidikan, kesehatan, dan perekonomian sendiri.

Baca juga: Muak Terus Dibohongi, Warga Desa di Bosnia Tolak Para Politisi

Masalah politik belum berakhir karena adanya visi berbeda di antara kelompok-kelompok etnis untuk negeri tersebut.

Muslim Bosnia menginginkan sentralisasi yang lebih kuat sedangkan etnis Serbia memilih tetap mempertahankan otonomi.

Sedangkan etnis Kroasia lebih terbelah, sebagian dari mereka ingin menciptakan entitas terpisah.

Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic, Presiden Bosnia-Herzegovina Alija Izetbegovic, dan Presiden Kroasia Franjo Tudjman meneken Perjanjian Damai Dayton yang mengakhiri Perang Bosnia dan memulukan jalan penandatanganan Kerangka kerja Kesepakatan Damai di Bosnia dan Herzegovina? pada 14 Desember 1995 di Istana Elysee, Paris, Perancis. US Air Force/Staff Sgt. Brian Schlumbohm Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic, Presiden Bosnia-Herzegovina Alija Izetbegovic, dan Presiden Kroasia Franjo Tudjman meneken Perjanjian Damai Dayton yang mengakhiri Perang Bosnia dan memulukan jalan penandatanganan Kerangka kerja Kesepakatan Damai di Bosnia dan Herzegovina? pada 14 Desember 1995 di Istana Elysee, Paris, Perancis.
Perjanjian Dayton

Kerumitan ini merupakan  warisan Perjanjian Dayton yang disponsori AS untuk  menghentikan perang yang menewaskan 100.000 orang.

Sistem politik yang diciptakan perjanjian ini memang menghentikanpertumpahan darah tetapi menciptakan keruwetan sistem politik.

Perjanjian ini mengedepanjan pembagian kekuasaan "yang merata" di antara ketiga etnis yang berseteru di masa perang yaitu Serbia, Kroasia, dan Muslim-Bosnia.

Baca juga: Penjahat Perang Bosnia-Kroasia Tewas Minum Sianida

Muslim-Bosnia merupakan etnis mayoritas yang mencakup 50.1 persen seluruh penduduk negeri itu.

Sementara itu, 30,8 persen adalah etnis Serbia yang menganut Kristen Ortodoks dan 15,4 persen etnis Kroasia yang Katolik.

Sementara empat persen sisanya adalah etnis minoritas yang tidak diakomodasi Perjanjian Dayton yaitu komunitas Yahudi, etnis Roma, dan "ostali" atau etnis "lain" yang tak termasuk tiga etnis utama.

Etnis-etnis minoritas ini memiliki suara dan bisa memilih tetapi nyaris tidak mungkin aspirasi mereka sampai ke level atas pemerintahan.

Di sisi lain, rumitnya birokrasi membuat negeri itu semakin tak bisa berfungsi secara normal.

Secara total, negeri ini memiliki 180 menteri atau satu menteri untuk 20.000 orang. Dengan rasio semacam ini, negara sebesar Jerman bisa memiliki 4.000 menteri.

Sektor publik mempekerjakan 212.000 orang yang untuk menggaji mereka menghabiskan sepertiga anggaran belanja  negeri itu.
 
Kondisi ini membuat Bosnia sulit berkiprah di kancah internasional misalnya keinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa.

Sebab, Uni Eropa menuntut pemerintahan yang terpisah-pisah itu mencari cara berkordinasi dan "berbicara dengan satu suara".

Sayangnya, upaya mempersatukan Bosnia ini masih jauh panggang dari api karena ulah para politisi mereka sendiri.

Sebagai contoh, Milorad Dodik yang baru saja memenangkan pemilihan umum untuk duduk di kursi lembaga kepresidenan.

Dodik, yang juga merupakan Presiden Republik Sprska, selalu menolak untuk pergi ke ibu kota Bosnia, Sarajevo.

Dia bahkan dikenal sebagai penganjur pemisahan Republik Sprska dari Bosnia yang disebutnya sebagai "konsep yang gagal" itu.

Kondisi serupa terjadi di wilayah Herzegovina yang terletak di sisi barat daya negeri tersebut.

Di kawasan itu, etnis Kroasia berjumlah 22,5 persen dari seluruh penduduk Federasi Muslim-Kroasia.

Sebagian warga Kroasia merasa posisi sebagai minoritas membuat suara mereka termarjinalisasi dan ingin mendirikan entitas pemerintahan sendiri.

Di sisi lain, Muslim Bosnia menentang keras reorganisasi wilayah itu. Sedangkan, etnis Serbia tidak menentang keinginan tersebut selama tidak memengaruhi Republika Sprska.

Baca juga: Ratko Jagal Bosnia Mladic Divonis Penjara Seumur Hidup

Persaingan antar-etnis ini, hanya disatukan pemerintahan pusat yang lemah dengan wewenang nyaris nol terhadap pemerintahan lokal.

Sehingga, tak heran jika warga negeri itu selalu merasa was-was karena api dalam sekam sewaktu-waktu bisa muncul membakar mereka semua.  
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com