Novelnya yang paling sukses mengisahkan tentang Mohun Biswas dan Salim, pedagang dari pesisir timur Afrika, yang mencoba menegaskan kemerdekaan dan integritas mereka di tengah sistem yang mendikte dan tak kenal ampun.
Ketika saya memperhatikannya berkelakar tentang cerita, pengamatan, pemahaman, dan emosi dari teman bicaranya, saya mulai menyadari signifikansi dan maksud atas apa yang segala ia lakukan.
Bagi VS Naipaul, sang penulis, hal itu cukup mudah. Ia mempunyai target: memahami lalu menulis tentang negeri-negeri Muslim non-Arab ini. Untuk itu, ia mengumpulkan semua cerita dan narasi yang dapat membantunya ‘membaca’ tanah yang asing ini.
Namun ia tidak senantiasa hanya menanyakan tentang iman dan kepercayaan mereka. Detail rinci tentang keseharian dan kebiasaan dalam hidup penduduk lokal memberikannya sebuah fondasi yang darinya dibangun narasi dan argumen.
Dengan ‘menelan’ kehidupan dan ‘menyerap’ kisah sumbernya, ia dapat memahami dunia mereka luar dalam.
Saat saya pertama kali menemuinya di Kuala Lumpur pada tahun 1990-an, saya sudah mulai menulis kolom saya ‘Ceritalah’. Setelah mengamati caranya membangun materi, saya tersadar bahwa saya sendiri ternyata juga melakukan hal yang sama, terutama karena saya mulai lebih sering bepergian di sekitar Asia Tenggara.
Saya bosan mendengarkan politisi dan sosok terkenal. Capek terhadap narasi mereka yang dibentuk dengan hati-hati. Saya hanya ingin duduk bersama petani, pekerja pabrik, dan pegawai kantoran – mendengarkan kehidupan mereka.
Ketertarikan inilah yang membuat saya menerapkan pendekatan ground up yang sekarang menjiwai kolom saya.
Saya berhutang budi pada sosok penerima nobel sastra ini. Saya sendiri kagum bagaimana ia bisa sangat tertarik mendengarkan beragam kisah-kisah tersebut.
Kalau boleh jujur, segmen tentang Malaysia dari buku Beyond Belief: Islamic Excursions among the Converted Peoples (buku yang kemudian ia tulis berdasarkan perjalanan yang saya dampingi), cukup campur aduk.
Saya merasa segmen tersebut ‘berantakan’ karena peran saya menyemangati ketertarikannya untuk bercerita sampai pada titik ia kehilangan minat (atau fokus) terhadap tujuan awalnya: mengisahkan perkembangan gelombang Islamisasi global.
Mungkin di waktu yang akan datang, orang-orang juga akan menilai tulisan saya ‘berantakan’ karena obsesi terhadap kisah-kisah orang yang sampai ‘menggeser’ narasi secara menyeluruh.
Namun, bukankah memang itu intinya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.