Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Kesepian, Pria Uzur Ini Minta Diadopsi

Kompas.com - 09/05/2018, 19:24 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

BEIJING, KOMPAS.com - Han Zicheng (85) berhasil bertahan hidup di masa pendudukan Jepang, selamat dari perang saudara China, dan Revolusi Kebudayaan. Namun, dia tak kuasa menahan sepi karena hidup sendirian.

Pada akhir tahun lalu, pria uzur ini mengumpulkan kertas-kertas bekas dan menuliskan sederet kata-kata dengan menggunakan tinta berwarna biru.

"Mencari seseorang yang bersedia mengadopsi saya," demikian isi tulisan yang dibuat Han Zicheng.

"Pria tua kesepian berusia 80-an. Bertubuh sehat. Bisa berbelanja, memasak, dan mengurus diri sendiri. Tidak mengidap penyakit kronis," tambah Han.

Baca juga : Panti Jompo di Jepang Kebakaran, 11 Orang Tewas

"Saya pensiunan sebuah institut risen sains di Tianjin dengan uang pensiun 6.000 yuan (Rp 13,2 juta) sebulan," lanjut Han.

"Saya tak mau tinggal di panti jompo. Saya berharap ada orang baik atau keluarga yang bersedia mengadopsi saya, menemani di hari tua, dan memakamkan saya saat meninggal nanti," tambah dia.

Dia lalu menempelkan salah satu kertas berisi permohonan adopsi itu di sebuah halte bus di dekat kediamannya. Kemudian, Han pulang dan menunggu kabar baik.

Han sangat mendambakan teman sejak istrinya meninggal dunia dan putranya tak bisa dihubungi lagi. Sementara tetangganya sibuk dengan anak-anak dan orangtua mereka sendiri.

Meski berusia lanjut, Han masih kuat bersepeda ke pasar untuk membeli kacang, telur, dan kebutuhan lainnya. Namun, dia sadar pada satu hari kesehatannya akan menurun.

Dia juga paham bahwa dirinya adalah salah satu dari puluhan juta warga China berusia lanjut yang hidup tanpa dukungan yang memadai.

Standar kehidupan yang meningkat dan kebijakan satu anak membuat populasi China menjadi piramida terbalik. Kini, 15 persen atau satu dari empat warga China berusia di atas 60 tahun.

Baca juga : Semakin Banyak Pria Tua Kesepian

Ini merupakan krisis demografi yang mengancam perekonomian China dan kehidupan berkeluarga di negeri itu.

Berbagai bisnis harus bergerak dengan pekerja yang semakin sedikit dan satu generasi anak tunggal kini mengurus sendiri orangtua mereka.

Pada 2013, pemerintah China menerbitkan undang-undang yang mengharuskan warganya mengunjungi orangtua mereka.

Namun, pada praktiknya terdapat jutaan warga usia lanjut China yang hidup sendirian tanpa pasangan dan anak mereka sehingga nyaris tak memiliki perlindungan.

Apa yang dilakukan Han adalah sekadar mencari orang yang bisa menemani dan mengurusnya di kemudian hari. Kali ini, seorang perempuan melihatnya menempelkan permohonan adopsi di kaca sebuah jendela.

Perempuan itu kemudian memotret Han dan mengunggah foto itu ke media sosial disertai kalimat permohonan kepada para netizen.

Baca juga : Di Inggris Kini Ada Menteri Urusan Warga Kesepian

"Saya harap ada orang baik yang bersedia membantu," demikian ditulis perempuan itu di media sosial.

Unggahan itu kemudian dilihat seorang jurnalis situs berita Pear Video yang kemudian menayangkan kisah kakek kesepian asal Tianjin ini.

Setelah kisahnya muncul di media massa, telepon di kediaman Han mulai berdering dan terus menerus berdering selama tiga bulan penuh.

Awalnya, Han berharap salah satu telepon itu bisa menjadi jawaban atas doanya untuk mendapatkan teman di hari tua.

Sudah bertahun-tahun dia berusaha agar kisahnya didengar, bercerita kepada tetangga soal betapa sepi hidupnya, menceritakan ketakutannya meninggal dunia seorang diri.

Kini banyak orang yang menhubungi dan menunjukkan simpati. Sebuah restoran setempat menawarkan makanan untuk Han.

Seorang jurnalis dari provinsi Hebei berjanji untuk datang. Bahkan, Han menerima telepon dari seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang ingin menjalin persahabatan.

Baca juga : Dunia Menghadapi Epidemi Kesepian

Namun, semangatnya memudar ketika menyadari bahwa peluangnya untuk mendapatkan keluarga baru semakin tipis.

Kini Han menolak tawaran yang tak sesuai harapannya. Saat seorang pekerja migran meneleponnya pada Januari lalu, dia menolaknya dan menutup telepon.

Sepanjang hidupnya, Han sudah melalui banyak hal. Lahir pada 1932, dia masih anak-anak saat Jepang menginvasi China. Dia beranjak remaja saat Mao Zedong mendirikan Republik Rakyat China.

Dan saat bencana kelaparan melanda China beberapa tahun setelah negeri itu menjadi republik komunis, Han sudah menjadi seorang pemuda.

Han kemudian bekerja di sebuah pabrik di mana dia bertemu dengan istrinya. Dia kemudian memutuskan untuk mengambil kuliah malam usai bekerja.

Di saat Revolusi Kebudayaan digalakkan dan mengakibatkan banyak penderitaan bagi rakyat, Han sudah memiliki anak.

Baca juga : Robert Mugabe Rayakan Ulang Tahun Ke-94 dalam Kesepian

"Warga China seusia saya pernah merasakan penderitaan," kata Han.

Setelah mengalami banyak penderitaan, orang-orang di generasi Han berharap di masa tua mereka hidup bersama keluarga, ditemani anak-anak dan para cucu.

Namun, bagi Han dan jutaan orang lanjut usia lainnya, impian tersebut tak terwujud. Itulah yang membuat Han amat marah.

Masalahnya, kata Han kepada orang-orang yang mau mendengarkannya, generasi muda China sudah meninggalkan gaya hidup masa lalu dan pemerintah belum menemukan sistem baru untuk mengurus warga lanjut usia ini.

Jiang Quanbao, seorang profesor demografi dari Institut Studi Populasi dan Pembanginan di Universitas Jiaotong Xi'an mengatakan, tantangan yang dihadapi China adalah masyarakat yang menua dan perkembangan negara.

"China sudah menjadi tua sebelum menjadi kaya," ujar Jiang.

Sementara itu, guru besar populasi dan pembangunan di Universitas Fudan, Shanghai, Peng Xizhe mengatakan, masalah bertambah saat kualitas dan jumlah panti-panti jompo di China amat tak memadai.

"Bahkan orang-orang seperti Han yang mampu membayar layanan layak di panti jompo enggan menggunakannya. Para orang tua ini tak ingin teman-temannya berpikir mereka ditelantakan anak-anak," ujar Peng.

Han mengatakan, hubungan dengan salah satu putranya tidak baik dan anaknya yang lain pindah ke Kanada pada 2003 dan jarang menghubunginya.

Namun, Han tak mau memberikan nomor telepon anak-anaknya dengan alasan tak ingin mempermalukan mereka.

Han kemudian menganalogikan hidupnya dengan tanaman.

"Orang tua itu seperti bunga dan pohon. Jika tak disirami air, maka kami akan mati," tambah dia.

Di saat orang-orang yang mengetahui kisahnya menghubungi untuk mencari tahu, Han kerap meluapkan amarahnya terhadap pemerintah atau makanan di panti jompo yang menurutnya amat tak layak.

"Porsinya terlalu kecil dan harganya mahal. Supnya bahkan amat encer," keluhnya.

Saat musin dingin mencapai akhir, telepon di kediamannya makin jarang berdering. Dan, Han kembali didera ketakitan dia akan meninggal dunia sendirian.

Pada Februari lalu, Han mulai menelepon layanan untuk warga lanjut usia yaitu Beijng Love Delivery Hotline.

Pendiri layanan ini, Xu Kun bantuan ini diberikan untuk mencegah para warga lanjut usia memilih bunuh diri, khususnya mereka yang hidup sendirian.

Xu mengatakan, seiring bertambahnya usia seseorang menjadi mudah marah. Masalahnya, kemarahan ini justru menjauhkan mereka dari orang-orang yang ingin membantu.

"Keluarga dan masyarakat kesulitan memahami kemarahan ini, rasa depresi yang tumbuh seiring bertambah tuanya seseorang," ujar Xu.

Beberapa kali sepekan, Han menghubungi layanan ini dan menceritakan soal kesepiannya serta kecamannya terhadap layanan pemerintah terhadap para orang tua.

"Dia berhenti menelepon pada awal Maret," kata Xu.

Baca juga : Kesepian, Nenek Ini Tawarkan Uang untuk Gadis yang Mau Jadi Putrinya

Han juga menjaga hubungannya dengan seorang mahasiswa hukum bernama Jiang Jing. Kepada Jiang, Han mengatakan, ada seorang personel militer yang sering menghubungi dan tertarik untuk mengadopsinya.

Terakhir kali Jiang berkomunikasi dengan Han pada 13 Maret lalu. Sehari kemudian, Jiang menerima "missed call" dari Han.

Pada April lalu Jiang menelepon Han. Namun, yang menjawab adalah seorang pria yang tak dikenalnya. Pria tersebut ternyata adalah putra Han yang mengabarkan bahwa pria tua itu meninggal dunia pada 17 Maret lalu.

Di Tianjin, kematian Han sama sekali tak menarik perhatian. Dua pekan setelah kematiannya, barulah komite warga yang bertugas melayani warga mendengar kematian pria itu.

Lima orang tetangga Han mengatakan, mereka menyadari lama tak melihat pria itu tetapi mereka sama sekali tidak mencoba mencari tahu keberadaan Han.

Putra Han, Han Chang terbang dari Kanada untuk mengurus ayahnya. Dia amat marah saat mengetahui ayahnya meminta diadopsi dan berang kepada jurnalis yang memuat kisah itu.

Baca juga : Hasil Studi: Banyak Pria Kesepian di Inggris

Han muda mengatakan, ayahnya telah berdusta. Han menyebut ayahnya memiliki tiga anak bukan dua seperti yang dia katakan selama ini dan mereka selalu mengurusnya dengan baik.

Namun, Han menolak memberikan nama atau nomor telepon saudara-saudaranya untuk mengkonfirmasi pernyatannya itu.

"Ayah saya tidak kesepian, dia hanya sudah tua. Hal ini bisa terjadi di mana saja," ujar Han Chang.

Han tak ingin membahas kehidupan ayahnya tetapi membenarkan beberapa hal seputar kematian sang ayah.

Saat pria tua itu jatuh sakit pada 17 Maret, dia menelepon seseorang, kemungkinan si personel militer atau orang lain yang tertarik untuk mengadopsinya.

Ketakutan terbesar Han adalah meninggal sendirian dan baru ditemukan lama kemudian. Namun, saat waktunya tiba, Han sempat menelepon seseorang yang membawanya ke rumah sakit.

Dan, yang jelas saat mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit, Han tak sendirian.

Baca juga : Demi Melawan Kesepian, Pria AS Jadi Mata-mata

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com