Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Militer Rwanda Siksa Ratusan Tahanan untuk Dapat Pengakuan"

Kompas.com - 10/10/2017, 16:52 WIB

KIGALI, KOMPAS.com - Militer Rwanda dituding melakukan penyiksaan sistematis terhadap ratusan tahanan, demi mendapat pengakuan seperti yang mereka harapkan.

Metode penyiksaan yang digunakan antara lain adalah dengan mengurangi pasokan oksigen (asphyxiation) -biasanya dengan cara membekap, atau pun menggunakan alat kejut listrik.

Temuan ini diungkap kelompok Human Rights Watch dalam sebuah laporan setebal 91 halaman yang diterbitkan, Selasa (10/10/2017). 

Badan pengawas hak asasi manusia tersebut mengkonfirmasi ada 104 penyiksaan yang dilakukan di pusat penahanan militer Rwanda.

Baca: Genosida di Rwanda, Paus Fransiskus Mohon Ampun Atas Kegagalan Gereja

Praktik itu terjadi dalam rentang waktu antara tahun 2010 hingga 2016.

Disebutkan pula, ada dugaan jumlah "korban" sebenarnya jauh lebih banyak dari temuan HRW.

Penyiksaan sistematis ini juga sering diabaikan oleh hakim dan jaksa, saat muncul pengaduan dari pihak yang dirugikan di pengadilan.

"Penelitian selama beberapa tahun menunjukkan, pejabat militer di Rwanda dapat menggunakan penyiksaan kapan pun mereka mau."

Demikian dikatakan Ida Sawyer dari HRW, sebuah badan pengawas global yang berbasis di Amerika Serikat, seperti dikutip AFP.

HRW menyebut  sebagian besar korban ditahan karena dicurigai menjadi anggota FDLR -kelompok pemberontak yang didominasi kelompok Hutu yang berbasis di Republik Demokratik Kongo timur.

Mereka dicurigai berpartisipasi dalam aksi genosida tahun 1994.

Korban lainnya adalah mereka yang dicurigai memiliki hubungan dengan Kongres Nasional Rwanda (RNC).

RNC adalah kelompok oposisi di pengasingan yang terdiri dari mantan anggota partai penguasa Rwanda, juga Victoire Ingabire, presiden partai oposisi terlarang.

"Saya akan mati"

Seorang mantan tahanan mengaku kepada HRW, tentara membekap wajahnya dengan kantung plastik, hingga dia tidak bisa bernafas.

"Saya terpaksa menerima semua yang mereka katakan, karena saya sudah nyaris mati. Setelah saya mengikuti kemauan mereka, barulah penyiksaan berhenti," kata korban itu.

"Mereka lalu menyodorkan sebuah dokumen yang harus saya tandatangani."

Laporan tersebut muncul hanya dua bulan setelah penyelidikan HRW menunjukkan bahwa pasukan keamanan, termasuk tentara, mengeksekusi setidaknya 37 orang tanpa proses hukum.

Baca: 37 Orang di Rwanda Dieksekusi Mati tanpa Proses Hukum

Sementara itu, konferensi pers pihak pemerintah terkait laporan itu sebenarnya dijadwalkan hari ini. Namun, rencana itu tiba-tiba dibatalkan di saat-saat terakhir.

Presiden Rwanda Paul Kagame telah berkuasa sejak 2000. Dia memenangi masa jabatan ketiga pada bulan Agustus lalu, dengan hampir 99 persen suara.

Capaian itu diperoleh Kagame, setelah sebelumnya dia sukses mengubah konstitusi untuk menghapus batas waktu masa jabatan presiden.

Kepemimpinan Kagame sempat menuai pujian. Tokoh ini dipandang mampu mengubah wajah Rwanda secara ekonomi, setelah pukulan genosida pada tahun 1994.

Di sisi lain, Kagame pun menuai kritik karena dinilai membatasi kebebasan media dan kelompok oposisi.

Sementara kelompok pembela hak asasi menuduh pemerintahan Kagame berkuasa dengan menebar rasa takut. 

Awal bulan ini Diane Rwigara --kritikus terkemuka Kagame yang diganjal untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum, ditahan dan dikenai tuduhan menghasut pemberontakan terhadap negara.

Rwigara dijadwalkan kembali dibawa ke muka persidangan pada hari Rabu besok. 

Baca: Sekelompok Turis Kalang Kabut Dikejar Gorila di Hutan Rwanda

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com