“Esoknya, saya melarikan diri. Hari itu 9 Januari 1992, hari ulang tahun saya. Saya tak akan pernah melupakan hari itu," katanya.
Di hari naas itu, setelah berhati-hati mengumpulkan uang penjualan produk-produk kebun dan sawahnya, Sadek dan tujuh orang temannya melintasi perbatasan menuju Banglades.
"Saya ketakutan, tapi saya merasa seakan menuju kehidupan yang baru,” kata Sadek.
Saat itu, rombongan Sadek termasuk orang Rohingya pertama yang sampai di Banglades. Belum ada kamp pengungsian di jaman itu. Setelah kepergian Sadek, anggota militer datang dan menangkap ayah Sadek.
"Dia ditahan selama satu minggu, dan setelah itu dia diwajibkan melapor setiap hari sambil membawa barang untuk menyuap petugas, yakni seekor ayam dan minuman alkohol. Dalam satu bulan, dia pun sadar bahwa dia juga harus pergi. Hampir tidak mungkin dia bisa terus-menerus mengirimkan 'hadiah' kepada mereka,” papar Sadek.
Sadek adalah seseorang yang praktis. Setelah menghabiskan beberapa tahun di jalan, mengurus dan menulis mengenai aktivitas Rohingya, dan bepergian antara Banglades, India, dan Thailand, dia akhirnya sampai di Malaysia pada 2006.
Sekolahnya, dengan 103 anak murid merupakan sebuah pernyataan tentang harapan dan tekad dari masyarakat yang secara cepat menjadi “Palestinanya Asia Tenggara”.
"Sekarang ada lebih dari 5.000 orang Rohingya di Ampang, Kuala Lumpur. Banyak anak-anak di sini yang ketinggalan pendidikannya.
“Di madrasah ini,” Sadek melanjutkan, “paling tidak mereka bisa belajar membaca dan menulis. Pagi hari, mereka mengikuti kurikulum Malaysia, dan setelah itu di siang harinya, mereka mengikuti pelajaran agama.”
Sadek mengaku sangat berhasrat akan masa depan anak-anak didiknya. Terlebih, dia pun memiliki empat anak kecil. “Saya tidak boleh menyerah walaupun terkadang bisa sangat terasa berlebihan,” katanya penuh tekad.
“Di sini ada anak-anak yang kelak bisa menjadi insinyur, doktor, atau hakim. Tapi terlebih dahulu mereka butuh sebuah tempat tinggal,” kata Sadek.
Baca juga: Aksi Perkosaan oleh Militer Myanmar Hantui Wanita-wanita Rohingya
Sadek mengutarakan terima kasihnya kepada pemerintah Malaysia yang sudah menyediakan tempat tinggal bagi ribuan pengungsi Rohingya. Namun, meskipun dia bisa tinggal, makan, dan tidur, dia mengaku merasa hidupnya terkekang di sebuah penjara terbuka.
“Saya masih berharap, suatu hari dapat kembali ke Rakhine. Kapan? Saya tidak tahu. Kekerasan di sana semakin menggila dan jumlah pengungsi kian bertambah… Ini sudah di luar kemampuan saya. Hanya tangan Tuhan yang bisa menyelesaikan masalah ini," kata Sadek.
Sekolah yang dikelola Sadek membutuhkan biaya untuk bayar sewa, makanan, dan pengeluaran lainnya hingga 8.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp 25,3 juta) sebulan. Tapi, dia harus bisa bertahan dengan hanya 4.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp 12,6 juta).
Kondisi sekolah ini memang berat, beberapa kelas harus diadakan di dapur karena kurangnya tempat yang memadai.