Mengingat kebakaran sekolah tahfiz di Malaysia yang merengut 23 nyawa, Sadek tak bisa menahan kecemasan mengenai risiko dari lingkungan yang penuh sesak ini. Walaupun madrasah ini bukan sekolah asrama seperti dalam peristiwa tersebut, bahaya tetap ada.
"Terkadang kami mendapat sumbangan individual. Namun, kami membutuhkan sesuatu yang lebih berkesinambungan. Sumbangan yang sifatnya rutin. Saya belum menggaji guru-guru saya selama berbulan-bulan. Termasuk dia,“ kata Sadek sambil menunjuk ke keponakannya.
"Jika bukan karena mereka bekerja tanpa upah, sekolah ini sudah tutup bertahun-tahun yang lalu," Sadek melanjutkan.
Saat saya bertanya, bagaimana dia bisa tetap penuh harapan, dia menjawab, "Kalau saya tidak memberikan mereka pendidikan, mereka tidak akan punya apa-apa. Kami harus tetap bermimpi untuk pulang," kata Sadek.
Sadek hanya ingin memberikan mereka secercah harapan agar mereka, paling tidak bisa menulis cerita mereka sendiri. Secara agama, Sadek hanya ingin mereka mengerti halal dan haram.
"Jika saya tidak melakukan tanggung jawab ini, akan datang waktu di mana saya harus menghadapi pertanyaan ini, ‘Apa yang telah kamu lakukan untuk kemanusiaan’?" kata Sadek.
Percakapan kami terhenti ketika kerumunan anak-anak menyerbu ruangan, menarik-narik baju Sadek, mencari perhatiannya. Sekitar 2.000 km dari Rakhine, sekolah ini bisa jadi salah satu tempat terakhir di dunia di mana anak-anak Rohingya bisa berlaku seperti anak-anak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.