Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kelam Seorang Pekerja Migran Indonesia di Taiwan

Kompas.com - 23/01/2017, 07:28 WIB

Awalnya, Ery tidak mengerti bahasa Mandarin, tidak tahu ke mana harus meminta tolong, dan bahkan dia tidak punya telepon seluler atau punya waktu untuk berteman.

Selagi, tindak pemerkosaan berlanjut, dia tidak menceritakannya ke siapapun, termasuk ke majikan atau makelar penyalur kerja.

"Mereka akan mengatakan itu salah saya. Saya takut mereka akan mengirim saya pulang. Saya baru tiba di sini. Saya berutang Rp25 juta kepada makelar," ujar Ery.

"Saya harus membayar utang setiap bulan dan jumlahnya lebih dari utang sebenarnya karena mencakup bunga. Saya takut jiwa mereka mengirim saya pulang, saya tidak sanggup membayar utang," demikian Ery.

Seperti kebanyakan pekerja migran lainnya, dia berutang kepada makelar penyalur kerja asal Indonesia yang mencarikannya pekerjaan dan membelikannya tiket pesawat.

Ditambah bunga, utang Ery mencapai Rp 40 juta, jumlah yang baru bisa dibayar Ery setidaknya selama setahun dari menyisihkan gaji.

Selain membayar utang ke makelar asal Indonesia, Ery juga harus membayar biaya bulanan dan pungutan liar kepada makelar Taiwan.

Perasaan malu juga membuat Ery tidak menceritakan derita yang dia alami kepada siapapun, termasuk keluarganya.

"Budaya di kampung halaman, orang-orang berpikir perempuan yang telah diperkosa itu kotor. Saya merasa malu dan kotor. Saya khawatir orang-orang akan memandang saya dengan rendah. Saya tidak ingin bercerita kepada siapapun. Bahkan hingga kini saya tidak bercerita kepada ibu saya karena dia akan sangat sedih jika tahu," kata Ery.

Ery mengaku tiada seorang pun yang curiga dengan adik majikannya. "Dia berpura-pura tidak mengenal saya ketika ada orang lain di sekitar," ujarnya.

Ery jarang berinteraksi dengan orang lain, meskipun dia bekerja di sebuah restoran yang padat pengunjung.

"Jam kerja saya sangat lama. Saya mulai bekerja pukul 06.00 untuk menyiapkan makanan bagi pengunjung dan bersih-bersih sampai pukul 22.00 atau 23.00. Pada akhir pekan, bisa lebih lama," Ery berkisah.

Ery menambakna, "Saya tidak bisa bicara kepada siapapun saat bekerja, majikan ingin saya terus bekerja. Selama 16 bulan saya bekerja di sana, saya hanya punya satu hari libur pada Hari Raya Imlek. Saya harus bekerja bahkan ketika saya sakit." 

Pemerintah Taiwan tidak memastikan para pekerja migran mendapat waktu libur secara rutin atau meninjau kesejahteraan mereka.

Urusan semacam itu diserahkan kepada makelar penyalur kerja, yang hanya peduli pada kepentingan majikan.

Biaya makelar

Sejumlah kelompok pelindung hak asasi manusia mengatakan peristiwa yang menimpa Ery bukan satu-satunya kasus yang terjadi di Taiwan.

"Mereka terlalu takut mengadu kepada polisi, utamanya karena gaji mereka dikurangi atau disimpan oleh majikan. Mereka harus membayar biaya makelar yang tinggi, harus membayar utang, dan mesti menopang keluarga. Mereka tidak bisa pulang. Mereka tidak bebas," kata Suster Wei Wei, salah seorang pegiat HAM dari organisasi Rerum Novarum Center.

Manakala para pekerja migran melaporkan tindak kejahatan yang menimpa mereka, biasanya terlambat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com