Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begitu Lama Elite Mengabaikan Rakyat

Kompas.com - 22/01/2017, 16:49 WIB

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Mengapa ada fenomena keterpilihan orang seperti Presiden Amerika Serikat Donald Trump?

Mengapa Inggris keluar dari Uni Eropa? Mengapa ada gerakan populis? Mengapa ada kritik pada globalisasi?

Ini semua, seperti dilaporkan harian Kompas, Sabtu (22/1/2017), bermuara pada ketimpangan ekonomi dengan efek yang meluas hingga kesenjangan sosial, politik, dan lainnya.

“Ketimpangan ekonomi adalah akarnya dan sangat korosif,” tulis harian tersebut menguti pernyataan guru besar filsafat politik dari Harvard University, AS, Michael J Sandel, saat berbicara pada sebuah sesi di Forum Ekonomi Dunia (WEF), Davos, Swiss, Rabu (18/1/2p17).

Penuturannya diawali dari pertanyaan, mengapa Trump, kandidat dari Republiken, terpilih, dan mengapa Partai Demokrat kalah. Dan mengapa ketimpangan berlanjut dan tak kunjung ada solusi?

"Para elite luput dan terus mengabaikan penyebab kemarahan dan kebencian sosial," katanya.

Elite tidak menangkap mengapa ada perlawanan sosial pada partai-partai dan para elite di AS dan Inggris. Elite tidak mencari tahu secara saksama akar dari kemarahan.

Pada tahun 1978, ekonom AS peraih hadiah Nobel Ekonomi 1976, Dr Milton Friedman, sudah mengingatkan.

Efek pembiaran dominasi korporasi besar akan menghasilkan masalah, termasuk kelumpuhan pemerintahan menghadapi korporasi dan ketimpangan pendapatan.

Ini tak diindahkan para elite di AS. Bahkan, yang terjadi sejak era Presiden Ronald Reagan (1981- 1989) mekanisme pasar jadi penentu segalanya.

Hal ini berlanjut hingga era Presiden George W Bush (2001-2009) dengan fasilitas pembebasan pajak kepada warga kaya dan perusahaan.

Muncullah ketimpangan akut. Ketimpangan membuat orang termiskin merasakan ketidakadilan.

Ketimpangan yang meninggi membuat kelompok terkaya berkembang dan hidup terpisah dari kelompok lain.

Hal ini menggerogoti fondasi demokrasi. Masyarakat tidak memiliki rasa kebersamaan.

Pengotak-kotakan seperti ini oleh Sandel disebut dengan skyboxification.

Semua ini, baik akar maupun akibatnya, tidak bisa ditangkap para elite politik dan pemerintahan.

Muncullah kelompok perlawanan seperti "We Are the 99 Percent", mundurnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atau dikenal sebagai Brexit, terpilihnya Donald Trump, walau juga bukan dianggap solusi terbaik.

Bahkan, sebagian yang hadir di Davos berpendapat Trump akan sulit bertahan selama empat tahun.

Adapun Brexit simbol dari perlawanan warga Inggris karena UE dinilai tidak memberi harapan sehingga rakyat memilih keluar dari UE.

Ketimpangan dengan segala efeknya menerjang ke mana-mana, termasuk pada aksi penolakan globalisasi.

Trump sendiri menganggap globalisasi telah "memerkosa" pekerjaan di AS.

Makin timpang

Data ketimpangan global terbaru juga dirilis di Davos. Kekayaan milik delapan orang terkaya dunia sebesar 426,2 miliar dollar AS berdasarkan data tahun 2016. Ini setara dengan kekayaan 3,6 miliar warga dunia.

Pada tahun 2010, kekayaan 43 orang terkaya dunia setara dengan kekayaan 3,6 miliar warga. Artinya, ketimpangan meninggi.

Katy Wright, Kepala untuk Urusan Masalah Global Oxfam, mengatakan, kenyataan ini perlu disampaikan untuk memberi tantangan kepada elite politik dan warga terkaya dunia.

Wright menambahkan, ketimpangan telah menyulut polarisasi dalam politik.

"Warga marah dan ingin sebuah alternatif. Mereka merasa tersisihkan serta merasa hasil kerja mereka kurang mendapatkan imbalan," kata Wright.

Oxfam pun menyerukan agar pemerintah menekan perusahaan yang memberi gaji terlalu tinggi kepada para eksekutif, mencegah penggelapan pajak oleh kaum terkaya.

Pihak lainnya pun menyerukan hal serupa. "Hai orang dalam kelompok satu persen terkaya dunia, bayarlah pajak Anda," demikian seruan ekonom AS peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001, Joseph E Stiglitz.

Globalisasi tidak salah

Satu hal yang terpetik dari isu di atas adalah globalisasi turut menjadi kambing hitam. Ini akibat protes yang juga dipicu ketimpangan.

Oleh karena itu, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatakan, jangan pernah menyalahkan globalisasi, yang terbukti telah mendorong kemakmuran dunia.

Globalisasi mendorong kemakmuran lewat aliran investasi dan perdagangan.

Ucapan Presiden Xi Jinping secara implisit menjawab Trump, yang muncul sebagai akibat kekecewaan rakyat AS. Namun, Trump sendiri tidak menangkap isu dan masalah sebenarnya.

Bisa juga Trump pura-pura tidak tahu dan simplistis menuding globalisasi sebagai penyebab masalah pada perekonomian AS.

Pendiri Alibaba, Jack Ma, dalam diskusi di Davos menolak globalisasi jadi kambing hitam.

Jack Ma, pengusaha dan warga terkaya nomor dua di Tiongkok, mengingatkan, "Selama 30 tahun terakhir, AS telah melakukan pemindahan pekerjaan (outsourcing) ke Meksiko, Tiongkok, dan India untuk menghasilkan produk murah. Globalisasi telah menguntungkan AS dan membuat korporasi AS berjaya serta meraih untung besar."

Akan tetapi, AS terlena. Korporasi peraih untung dari globalisasi tidak dipajaki benar, bahkan menggelapkan pajak.

Lagi, dalam 30 tahun terakhir, AS terlibat 13 perang yang tidak bisa diakhiri dengan damai. AS menghabiskan 2 triliun dollar AS untuk perang.

Kehancuran ekonomi AS terjadi pada tahun 2008. Dalam kesempatan ini, Wall Street menarik uang 19,2 triliun dollar AS dari pasar.

"Andai uang-uang ini dialokasikan untuk membangun infrastruktur, mengembangkan aspek sosial ekonomi rakyat, masalah ekonomi AS tidak sebesar sekarang," kata Jack Ma. "Jadi, bukan globalisasi yang merusak perekonomian AS."

Ketimpangan adalah akar semua itu. Masalah lain, Trump adalah seorang pebisnis yang tidak disiplin membayar pajak. Padahal, pajak adalah salah satu sarana pemerataan pendapatan.

Versi asli artikel ini dalam bentuk cetak yang terbit di harian Kompas edisi 22 Januari 2017, di halaman 3 dengan judul "Begitu Lama Elite Mengabaikan Rakyat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com