Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Alyiah Al-Bonijim

Kompas.com - 17/11/2016, 13:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat terpilih, banyak mengeluarkan komentar-komentar kontroversial tentang kaum imigran dan minoritas. Dia, misalnya, menyebut orang Meksiko sebagai kriminal, bandar narkoba, dan pemerkosa.

Pada Desember 2015 di Charleston, California Selatan, beberapa hari pasca-terjadinya teror penembakan di San Bernardino yang melibatkan pasangan suami istri Muslim Amerika, Trump menegaskan kepada ribuan pendukungnya.

"Donald J. Trump menyerukan larangan bagi orang Muslim memasuki wilayah Amerika Serikat sampai pemerintah bisa mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi."

Komentar-komentar Trump itu telah menciptakan kecemasan luar biasa di kalangan masyarakat Muslim di Amerika.

The Pew Research Center memperkirakan ada sekitar 3,3 juta umat Muslim yang tinggal di Amerika atau satu persen dari total penduduk Amerika yang pada 2015 tercatat 332 juta. Jumlah Muslim Amerika ini juga diprediksi meningkat dua kali lipat pada 2050.

Alyiah Al-Bonijim adalah mahasiswi Universitas Michigan berusia 19 tahun. Dia memiliki tubuh yang tinggi, langsing dan mengenakan hijab. Suara dan sorot matanya membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Tampak ada sedikit kegelisahan pada dirinya ketika dia terlihat berusaha mencabut kulit di sekitar kukunya dan tampak repot dengan blusnya.

Mengingat bahwa dia barulah mahasiswi tahun kedua, namun kosa kata yang dipilihnya sangat kompleks, pengamatannya detail dan mendalam, sarat dengan referensi intelektual Edward Said dan lainnya.

"Saya masih shock. Amerika adalah Amerika. Ada sistem pengawasan dan keseimbangan di sini. Tetapi dengan Republik yang menguasai kursi Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika, akan banyak sekali yang dapat dilakukan Trump. Seperti hari ini, media memberitakan bahwa (nanti) warga Muslim harus mendaftar."

"Semua orang jadi takut. Tak seorang pun tahu bagaimana harus bereaksi. Tapi saya percaya, adalah mungkin menjadi Muslim sekaligus warga Amerika. Contohnya seperti kaum kulit hitam dan Barack Obama: jika mereka dapat melakukannya, saya pikir kita juga semua bisa."

"Trump itu mengerikan. Tapi saya kira ancamannya bukan pada dia, melainkan para pendukungnya yang sangat rasis dan sekarang mereka memiliki pemimpin yang membuat mereka lebih percaya diri. Kondisi ini menguatkan mereka."

Sewaktu saya menanyakan tentang hijab yang dikenakannya, Alyiah menjawabnya dengan malu-malu. "Imperialisme dan kolonialisme di jazirah Arab telah membuat hijab sebagai bentuk tindakan revolusi atas diri sendiri."

Alyiah lahir di Dearborn, kota yang didominasi kaum Islam Arab, yang berjarak hanya setengah jam dari pusat kota Detroit. Orang tua Alyiah adalah pengungsi Irak Syiah dan tiba di Amerika pada 1997.

"Saya bungsu dari empat bersaudara dan satu-satunya yang lahir di Amerika. Kakek saya kepala suku Al-Bujirin. Dulu keluarga saya tinggal di Nassyriah. Ibu saya selalu mengingatnya sebagai kenangan yang sangat indah."

KARIM RASLAN Alyiah sedang mengejar program Internasional Studies di Universitas Michigan.
"Tetapi Saddam Hussein mencurigai keluarga saya karena kami penganut Syiah. Dia menguras habis ladang gambut kami. Di awal 90-an keluarga saya dimasukkan ke dalam daftar hitam hingga kemudian ditendang keluar dari Irak."

"Keluarga saya lantas terjebak di sebuah kamp pengungsi di Saudi Arabia tujuh tahun lamanya sebelum kemudian dipindahkan ke Amerika oleh Organisasi Palang Merah. Saya selamanya akan berterima kasih kepada Palang Merah dan cerita ini telah menginspirasi saya untuk kelak menolong mereka, korban pengungsian, yang harus berpindah negara."

"Sebagian keluarga saya pindah ke Australia. Sementara keluarga saya dikirim ke Amerika, dengan tujuan awal, Utah. Tapi ibu dan saudara saya telah mendengar banyak tentang kota Dearborn sehingga mereka memutuskan untuk pindah ke Dearborn."

Selain sebagai lokasi kantor pusat Ford Motor Company, Dearborn memiliki warga Muslim sekitar 30 persen hingga 40 persen dari total penduduknya dan ini menjadikan Dearborn sebagai pusat masyarakat Muslim terpadat di Amerika Utara. 

Berkendara mengelilingi Dearborn adalah pengalaman penuh fantasi—melewati area perbelanjaan dengan toko-toko yang unik, mulai dari toko daging halal, hookah (pipa rokok), dan aneka kudapan bertuliskan Arab.

Warga Muslim di Dearborn didominasi oleh penganut Syiah, meskipun Alyiah mengaku banyak dari sahabatnya adalah penganut Sunni. Dia juga menambahkan bahwa perbedaan budaya adalah penting.

"Orang Lebanon berbicara bahasa Arab dengan gaya yang lembut dan feminin, sedangkan orang Yaman berbicara sangat cepat, sementara orang Irak berbicara agak keras dan agresif. Kami selalu bercanda kalau orang Lebanon itu anggun."

Alyiah mengakui bahwa sosok ayahnya seperti bayangan yang tak jelas kapan datang dan kapan pergi, meninggalkan ibunya yang memiliki kecenderungan depresi lantaran harus membesarkan empat anak.

"Bertahun-tahun kami selalu berpindah-pindah. Kami pernah tinggal berdesak-desakan di sebuah apartemen besar dengan lima keluarga lainnya. Tetapi untungnya kami mampu dan hidup lebih stabil. Kakak tertua saya sangat sedih karena harus keluar dari Universitas Michigan, lalu kedua kakak saya lainnya sedang menunggu pindah studi untuk mendapatkan kualifikasi profesional. Dengan kondisi saya saat ini, saya pun merasa sangat diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa."

Alyiah adalah seorang gadis muda yang cerdas dan bekerja keras. Dia memiliki banyak pilihan. Namun banyak di komunitasnya tidak memiliki kesempatan karena adanya tekanan seperti yang dia gambarkan.

"Saya telah beberapa kali studi ke luar negeri seperti ke Maroko, Israel, Palestina. Ya, ini memang tampak tidak lazim bagi mahasiswi tahun kedua seperti saya. Tapi, saya sangat bersemangat melakukannya."

Seperti banyak gadis Muslim lainnya, Alyiah juga menyadari pentingnya pendidikan. "Ini adalah satu-satunya cara untuk bisa menembus lingkungan yang lebih luas dan beragam. Dearborn memang besar, tetapi saya ingin sesuatu yang baru dan berbeda."

Saya kemudian bertanya bagaimana perasaannya tentang kemenangan Trump. "Saya berharap kecemasan dan kegaduhan yang terjadi ini akan segera mereda. Bagaimanapun saya memiliki lingkungan dan bagian dari sebuah komunitas. Sepanjang Anda memiliki dukungan moral, saya yakin semuanya akan oke."

*Artikel CERITALAH USA--akan terbit setiap hari mulai Kamis (3/11/2016)-- merupakan rangkaian dari CERITALAH ASEAN, yang ditulis dari perjalanan Karim Raslan selama 10 hari ke AS dalam rangka mengamati pemilu di sana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com