Rangkaian proses demokrasi di Amerika Serikat dalam pemilihan presiden baru saja selesai dilakukan, hasilnya adalah cukup mengejutkan sebagian masyarakat Amerika dan bahkan dunia.
Pemilihan Presiden di Amerika Serikat, meskipun diklaim sebagai proses pemilihan yang demokratis, namun memiliki sistem yang berbeda dengan beberapa negara demokratis lainnya.
Alasannya adalah pemenang dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak (popular vote), melainkan pada perolehan suara dari perwakilan masing-masing negara bagian (electoral votes).
Dalam electoral votes, di mana pemenang pemilihan presiden akan ditentukan oleh mereka yang sebelumnya terpilih menjadi perwakilan dari masing-masing negara bagian, dianggap kurang mencerminkan realitas demokrasi yang sesungguhnya.
Para individu yang sebelumnya dipilih untuk mewakili suara masyarakat dan partai politik di setiap negara bagian, pada pelaksanaan pemilihan presiden belum tentu memiliki pilihan yang sama dengan konstituen yang diwakilinya.
Sebagai contohnya adalah adanya perbedaan suara antara popular votes dengan electoral votes. Dalam popular votes calon presiden Amerika dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, memperoleh 60.122.876 suara, sedangkan pesaingnya dari Partai Republik, Donald Trump, hanya memperoleh 59.821.874 suara. Namun demikian dalam elevtoral votes, Trump berhasil mendapatkan 279 suara, dibandingkan dengan Hillary yang hanya mendapatkan 228 suara.
Kemenangan Hillary Clinton dalam popular votes tentunya membuat sebagian warga negara Amerika Serikat berani untuk menolak Trump sebagai presiden, meski sesungguhnya secara konsensus Amerika Serikat telah menetapkan dalam undang-undangnya tentang penggunaan electoral votes.
Keberanian penolakan sebagian warga negara Amerika terhadap Trump tidak hanya didasari oleh peraihan suara sesungguhnya (popular votes), melainkan juga karena adanya kekhawatiran terhadap beberapa kebijakan yang akan dikeluarkan Trump jika sudah secara sah menduduki kursi kepresidenan.
Kontroversial
Bagi sebagian besar masyarakat Amerika Serikat, sosok Trump memang dikenal sebagai tokoh yang kontroversial, hal ini setidaknya bisa terlihat dari pidato-pidatonya semasa kampanye pemilihan presiden.
Karena pidatonya yang cenderung kontroversial itulah, maka mayoritas masyarakat Amerika Serikat tidak memilih Trump, hal ini setidaknya dapat dilihat dari popular vote. Bagi sebagian kalangan Republik sendiri bahwa kemenangan Trump adalah sesuatu yang menurut mereka adalah di luar dugaan, sebab beberapa di antara mereka juga tidak menyukai gagasan Trump.
Sebagaimana kelompok dari pakar keamanan nasional Partai Republik, yang salah satunya adalah Michael Hayden (mantan Direktur CIA), yang pernah melayangkan protes terhadap Trump. Hayden menganggap Trump sebagai kandidat presiden yang intoleran dan sembrono.
Sedangkan bagi sebagian kalangan Demokrat bahwa Trump dilihat sebagai sosok yang rasis dan cenderung proteksionis.
Di antara kalimat Trump yang bisa dianggap kontroversial adalah konteks kalimat “Make America Great Again”, yang mengindikasikan adanya suatu rencangan kebijakan yang menginginkan Amerika kembali besar dan kuat. Dalam konteks inilah maka salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah kebijakannya kelak dalam bidang pertahanan.
Tidak dipungkiri bahwa Trump kemungkinan besar akan mewarisi tradisi Presiden Amerika Serikat terdahulu, George Walker Bush, yang juga sama-sama berasal dari Partai Republik dan memiliki orientasi yang besar atas kebijakan pertahanan. Apa yang kemudian direncanakan oleh Trump dalam kebijakan pertahanan itu adalah salah satunya dengan menambah anggaran militer Amerika Serikat, dan mengizinkan Jepang dan Korea Selatan untuk mempunyai senjata nuklir.