“Sensitif,” jawab Gerard.
“Kata kerja, Gerard. Itu kata sifat. Kalau kata kerja dari karakter Suli?” tanya Yacinta lagi.
“Diculik”
“Membangun”
“Mengkritik,” mahasiswa lain lalu berebutan menjawab pertanyaan Yacinta.
Menarik
Suasana hangat dan santai mewarnai kelas Bahasa Indonesia level 5 di Monash University, siang itu. Yacinta yang mengajar sekitar 16 mahasiswa warga Australia menggunakan naskah “Dhemit” dari Teater Gandrik sebagai bahan diskusi di kelasnya.
“Kami ciptakan kurikulumnya, kontennya, lalu bahasa dipakai. Bahasa itu kan alat komunikasi, jadi ketika mereka belajar bahasa, mereka bisa bercerita tentang diri mereka sendiri dan hal-hal lain,” ungkap Yacinta di sela mengajar.
Yacinta bercerita, dia bersama tim kajian Indonesia di Monash University akan merumuskan kurikulum untuk setiap level. Kurikulum ini berguna sebagai pengantar dalam memperkenalkan bahasa dan kerumitannya pada setiap tingkatan, mulai dari tata bahasa hingga sastra.
“Pada level pertama, misalnya, para mahasiswanya diminta bercerita dalam bahasa Indonesia tentang diri mereka sendiri. Setelah itu, mereka diminta memilih satu tokoh dari Indonesia dan bercerita tentang sosok itu seolah-olah mereka adalah tokoh tersebut,” tuturnya.
“Jadi kelas 1 tentang biografi, mereka harus berbicara tentang diri mereka sendiri. Setelah itu mereka harus mencari tokoh terkenal dari indonesia yang mereka pilih lalu menceritakan diri mereka sendiri. Ada yang memilih menjadi Ebiet G Ade, Iwan Fals, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi,” lanjutnya sambil tertawa.
Pada tingkat selanjutnya, Yacinta mengatakan, para mahasiswanya akan diminta bercerita tentang sebuah perjalanan. Lalu di tingkatan selanjutnya, para mahasiswa akan belajar dari sejumlah perayaan di Indonesia.
Yacinta mencontohkan, misalnya diskusi dimulai dari video di YouTube tentang perayaan 17 Agustus di Indonesia, mulai dari panjat pinang hingga makan kerupuk. Dari situ, dia dan para dosen akan membawa para mahasiswanya belajar tata bahasa. Lalu mereka juga diminta untuk bercerita tentang perayaan penting di Australia. Tentu saja dalam bahasa Indonesia.
“Jadi (cara belajarnya) sedikit beda dengan Indonesia. Di Indonesia misalnya mengajarkan bahasa, kalau di sini mengajarkan isinya dulu, kurikulumnya, kemudian bahasa yang dipakai disesuaikan dengan levelnya mereka,” tutur Yacinta.