Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengakuan Seorang Algojo Eksekusi Mati Pakistan

Kompas.com - 06/08/2015, 13:19 WIB
KOMPAS.com — Sehari setelah Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif memutuskan untuk mengakhiri tujuh tahun moratorium eksekusi mati tahun lalu, rumah Sabir Masih di Lahore langsung dikelilingi paparazi.

Sabir yang berprofesi sebagai algojo eksekusi mati itu sebelumnya pernah bertemu dengan reporter dan juru kamera. Sebelumnya, dia akan dengan leluasa berbagi pandangan tentang hukuman gantung. Namun, dia tak punya waktu untuk itu.

"Saya harus sampai di Faisalabad pada malam 18 Desember karena mereka sudah punya dua tersangka yang akan dihukum gantung esok paginya," katanya.

Dia mengemas pakaian di tas bahunya yang kecil, memakai baju milik saudari perempuannya yang berusia 17 tahun, menutup wajahnya dengan kerudung, dan berjalan melewati mobil kru televisi yang parkir di depan rumahnya untuk menuju halte bus.

Pada waktu yang sama, sekitar 170 kilometer arah barat, petugas keamanan di Faisalabad membawa dua tahanan dari penjara kota, yang tak punya gantungan, ke penjara wilayah.

Mereka bukan tahanan biasa.

Mohammad Aqeel alias Dr Usman memimpin serangan ke markas tentara pada 2009 di Rawalpindi sehingga 20 orang tewas dan Arshad Mehmood terpidana kasus upaya pembunuhan terhadap Presiden Pervez Musharraf pada 2003.

Keduanya adalah mantan tentara dan anggota jaringan milisi Pakistan.

Cabut moratorium

Sementara itu, setelah turun bus di Faisalabad dan naik taksi ke penjara wilayah, Sabir harus menunjukkan tanda pengenal resminya beberapa kali agar bisa melewati blokade jalan yang dipasang tentara dan polisi untuk mencegah serangan balasan dari kelompok milisi.

Hari berikutnya, Aqeel dan Mehmood menjadi orang-orang pertama yang dieksekusi di Pakistan dalam tujuh tahun terakhir. Sabir, 32 tahun, adalah algojo yang melakukannya.

Ada sekitar 8.000 orang yang dijatuhi hukuman mati di Pakistan, jauh lebih banyak dari negara mana pun di dunia. Sejak Desember, Pakistan sudah mengeksekusi 200 orang di antara mereka, beberapa terpidana terorisme, lainnya untuk kasus pembunuhan.

Beberapa kasus itu menimbulkan kekhawatiran akan keadilan. Selasa (4/8/2015), Shafqat Hussain, 23 tahun, dieksekusi untuk pembunuhan anak yang, menurut dia, tak pernah ia lakukan.

Pengacaranya mengatakan bahwa Shafqat saat itu masih anak-anak dan pengakuan didapat dari penyiksaan saat ia dalam tahanan.

Sejak moratorium dicabut, Sabir mengatakan, dia sudah menggantung hampir 60 orang di lebih dari enam penjara di Provinsi Punjab. (Menurut Sabir, dia tak terlibat dalam eksekusi Shafqat yang dilakukan di Karachi).

Secara keseluruhan, dia meyakini telah mengeksekusi lebih dari 200 pria sejak 2007, angka yang ia sebut tanpa nada penyesalan.

Mungkin karena ia berasal dari keluarga algojo, sama seperti keluarga Pierrepoint di Inggris, Sanson di Perancis, atau Mammu Jallad di India.

Seperti kebanyakan algojo dari era Kerajaan Inggris, Sabir adalah penganut Kristen. Nama belakangnya adalah penyebutan lokal untuk Yesus Kristus dan nama belakang umum di kalangan orang-orang Kristen di kawasan Asia Selatan.

Matanya cekung dan berkerut, giginya kuning karena mengunyah tembakau, bicaranya gagap, tingginya hampir 180 cm, dan wajahnya tegas.

"Menggantung orang adalah bisnis keluarga saya," katanya. "Ayah saya algojo, ayahnya juga, begitu juga ayah kakek saya, dan kakeknya lagi, sejak masa East India Company."

Mungkin leluhurnya yang paling terkenal adalah saudara laki-laki kakeknya, Tara Masih, pria yang menggantung perdana menteri terpilih pertama Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto, pada 1979.

Tara Masih harus diterbangkan dari Bahawalpur ke Lahore untuk eksekusi tersebut karena algojo di Lahore, Sadiq Masih, keponakan Tara dan ayah Sabir, tak mau menggantung pemimpin populer tersebut.

Sabir juga mengatakan bahwa kakeknya, Kala Masih, menggantung Bhagat Singh, revolusioner sosialis dan pahlawan gerakan kemerdekaan India, pada 1931.

Namun, ada klaim dari keluarga Mammu Jallad di India yang mengatakan bahwa Bhagat Singh digantung oleh Ram Rakha, kakek Mammu.

Tak merasakan apa-apa

Dengan sejarah keluarga seperti ini, Sabir Masih sering dikejar wartawan yang ingin mencari tahu tentang pekerjaannya dengan pertanyaan seperti, "Apakah Anda bisa tidur semalam sebelum melakukan eksekusi?" "Apakah Anda mimpi buruk sesudahnya?" "Apa yang Anda rasakan setelah menggantung korban pertama?" "Apa pendapat keluarga dan teman tentang pekerjaan Anda?"

"Saya tak merasakan apa-apa. Ini bisnis keluarga. Ayah saya mengajarkan caranya mengikat tali gantungan, berapa ikatan, dan dia membawa saya untuk melihat beberapa penggantungan saat saya direkrut."

Dia pertama kali menggantung orang sendirian pada Juli 2007.

"Satu-satunya yang membuat saya gugup adalah apakah ikatan saya benar, tetapi wakil kepala penjara bilang tak usah khawatir. Dia menyuruh saya mengikat dan melepas ikatan beberapa kali sebelum si terpidana mati dibawa. Saat sipir memberi saya tanda untuk menarik tuas, fokus saya ke dia, dan tidak melihat terpidana mati jatuh lewat pintu jebakan."

Situasinya sekarang kurang lebih sama.

Terpidana mati akan dibacakan tuntutannya oleh panitera, diminta mandi, dan jika mau diberi pendamping doa, lalu ia akan digiring ke panggung eksekusi oleh penjaga penjara.

"Satu-satunya kekhawatiran saya adalah mempersiapkan mereka setidaknya tiga menit sebelum digantung. Maka, saya melepas sepatunya, menutup kepalanya dengan tudung, mengikat kaki dan tangannya, menaruh tali gantungan di sekitar lehernya, memastikan simpul tali ada di bawah telinga kirinya, dan menunggu tanda dari sipir untuk menarik tuas."

Tak ada konseling psikologis sebelum atau sesudah penggantungan buat algojo, dan tak ada batas jumlah eksekusi yang maksimal dilakukan oleh algojo sebelum mendapat jeda.

Menurut Sabir, dia tidak membutuhkannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com