Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Nairobi

Kompas.com - 26/09/2013, 09:10 WIB
Oleh: Trias Kuncahyono

Sepuluh tahun silam, begitu Mike Pflanz mengawali ceritanya, sangat sedikit pilihan bagi keluarga-keluarga di Nairobi, Kenya, untuk berakhir pekan, atau untuk belanja, makan siang, nonton film, atau membawa anak-anaknya untuk bermain di akhir pekan. Itu sepuluh tahun lampau.

Bahkan, pada suatu masa, nama ibu kota Kenya itu, Nairobi, yang artinya ”air sejuk”, pernah dipelesetkan menjadi ”Nairobbery” saking tidak amannya. Nyaris tidak ada orang yang berani keluar malam, kala itu. Rumah-rumah bersembunyi di balik tembok-tembok tinggi, yang tidak jarang di atas tembok dipasangi kawat berduri. Bahkan, banyak rumah yang dipasangi alarm system. Itu dulu!

Belakangan ini, menurut cerita Mike Pflanz dalam tulisannya di The Christian Science Monitor (CSM), 24 September 2013, muncul selusinan mal bergaya Barat di kota yang didirikan Inggris pada tahun 1899 itu. Mal-mal itulah yang di setiap akhir pekan diserbu penduduk kota, untuk berbelanja, membawa anak-anaknya bermain, makan siang, nonton film, bermain kasino, atau sekadar nongkrong.

Tetapi, penyerangan Mal Westgate di Nairobi, oleh kelompok Al Shabab dari Somalia, beberapa hari lalu, dan penyanderaan terhadap para pengunjungnya, yang berlanjut dengan penembakan terhadap para sandera (lebih dari 60 orang tewas), serta berakhir dengan serangan pasukan pemerintah, membuat banyak penduduk Nairobi mulai berpikir lagi soal keamanan.

Penyerangan itu mengingatkan orang akan peledakan bom pada tahun 1998 oleh Al Qaeda di Kedubes AS di Somalia dan Dar Es Salaam, Tanzania: lebih dari 200 orang tewas, termasuk 12 orang Amerika. Itulah aksi internasional pertama Al Qaeda.

Dan, sekarang ini Al Shabab juga disebut-sebut memiliki hubungan dengan Al Qaeda. Tetapi, Scott Baldauf dalam artikelnya di CSM, sedikit berkelakar, apa kalau ada orang memakai kaus bertuliskan Manchester United (MU) berarti si pemakai mempunyai hubungan dengan MU?

Apa pun dan siapa pun mereka, tragedi mal di Nairobi itu mempertegas bahwa terorisme adalah perang tanpa batas dan tanpa front, dapat terjadi di mana saja, dan mengenai siapa saja. Apalagi sekarang ini, sarana serta jaringan yang dimilikinya pun semakin canggih. Barangkali, kurang menjadi penting lagi apakah mereka ada hubungannya dengan Al Qaeda atau tidak. Yang pasti mereka itu, dalam bahasa Sindhunata (Basis, 2013), adalah lawan humanisme dan kemanusiaan.

Tragedi mal di Nairobi juga menegaskan bahwa terorisme memang mewabah. Tidak hanya terorisme yang mewabah, tetapi juga radikalisme, fundamentalisme, dan sektarianisme. Mereka—penganut isme-isme itu—memusuhi pluralitas baik agama maupun kultur (mal dianggap sebagai bagian dari kultur Barat). Mereka juga memandang dan menganggap orang di luarnya sebagai lawan. Hal semacam itu pula yang dicatat oleh Reza Aslan sekarang terjadi di Suriah. Dalam tulisannya di Foreign Affairs (11 September 2013), Aslan mencatat bahwa yang terjadi di Suriah tidak sebatas perang saudara, tetapi konflik sektarian yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.

Begitu pula yang terjadi di Nairobi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com