Ikhwanul Muslimin menyatakan serangan militer dilakukan ketika para pendukung Mursi sedang beribadah pagi. Namun, militer bersikukuh insiden terjadi karena "sekelompok teroris" berusaha menyerbu gedung yang diduga menjadi tempat penahanan Mursi itu.
Presiden interim Mesir mengumumkan penyelidikan hukum atas pembunuhan tersebut. Namun, langkah tersebut tak bisa menenangkan kemarahan massa yang berkumpul hingga malam di masjid Rabaa al-Adwiya.
Sheikh Ahmed el Tayeb, kepala masjid al-Azhar, dan ulama Muslim senior negara itu, memperingatkan bahaya "perang saudara" dan mengatakan ia pergi ke pengasingan sampai kekerasan berakhir dan rekonsiliasi dimulai.Korban luka mendeskripsikan bagaimana peristiwa penembakan dimulai pada waktu ratusan ribu orang menghadiri unjuk rasa saingan dan melawan Mursi di seluruh negeri. "Ada shalat subuh dan kemudian aku mendengar seseorang memanggil bantuan," kata Mohamed Saber el-Sebaei, seorang warga, kepada Guardian. "Tepat sebelum kami selesai (shalat), tembakan dimulai. Unit tentara yang berdiri di depan markas Garda Republik mulai menembak gas air mata, menyusul peluru tajam di atas kepala orang," kata el-Sebai. Sesudahnya, lanjut dia, kendaraan baja telah mengelilingi masjid itu, dengan tentara bersenapan menembakkan senapan mereka langsung ke arah para pendukung Mursi.Serangan ini telah terkonfirmasi juga menewaskan perempuan dan anak-anak di masjid tersebut. Seorang dokter mengaku telah merawat korban yang ia sebut sebagai "yang terburuk" yang pernah di lihat sepanjang hidupnya.Namun, banyak pertanyaan tak terjawab menyikapi klaim militer tersebut. Dari rekaman insiden itu terlihat jelas lebih banyak orang yang lari ke blok menara di dekat lokasi "pembantaian", termasuk anak-anak.
Heba Morayef dari Human Rights Watch menulis di akun Twitter, "Terlepas dari apa yang memulai kekerasan ... militer dan polisi memiliki tanggung jawab untuk menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan berlebihan dan mematikan."Mursi, yang terpilih dalam pemilu tahun lalu, digulingkan oleh militer Mesir pada Rabu (3/7/2013) setelah protes massa yang dipimpin oleh gerakan Tamarod (Pemberontakan). Hakim Adly Mansour, kepala mahkamah konstitusi tinggi, menggantikan dia sebagai presiden sementara. Pendukung Mursi menyebut pengambilalihan kekuasaan ini sebagai kudeta militer. Namun, kubu anti-Mursi menggambarkan peristiwa ini sebagai kelanjutan revolusi yang menggulingkan Husni Mubarak pada 2011.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.