AKHIR pekan lalu, Asia telah memulai musim pemilihan umum hingga dua bulan ke depan. Sebanyak 1,2 miliar penduduk Asia akan berbondong-bondong ke TPS.
Dimulai dari Thailand (52 juta pemilih) pada 24 Maret, lalu India (900 juta pemilih), Indonesia (193 juta), dan Filipina (64 juta). Ini adalah jumlah pemilih yang sangat besar.
Namun, seperti biasa, kemungkinan hanya beberapa pihak saja di luar kawasan ini —terutama penduduk Eropa dan Amerika—yang akan memperhatikannya.
Ini adalah kerugian bagi mereka. Mengingat apa yang terjadi di Timur sering kali bergema di Barat. Mengapa? Lihat saja, sebelumnya ‘titik episentrum’ dari ‘gempa pemilihan umum’ ada di Filipina, yang kemudian mengirim gelombang ke Inggris serta Amerika Serikat.
Pada Mei 2016, seorang wali kota di kota kecil, Rodrigo Duterte mengejutkan dunia dengan memenangkan kontestasi kursi Kepresidenan Filipina.
Baca juga: Apakah Thaksin Masih Berpengaruh?
Wali Kota Davao ini meraih kekuasaan dengan menggunakan kombinasi berbahaya dari retorika pemimpin kuat dan informasi daring yang menyesatkan.
Iconoclast bertabiat keras ini (Duterte), entahlah muncul dari mana sehingga berhasil menangkap imajinasi populer penduduk Filipina.
Satu bulan kemudian, di Juni tahun 2016, pemilih di Inggris melawan prediksi pakar metropolitan dan lembaga survei dengan pilihan mereka yang sangat tidak terduga untuk keluar dari Uni Eropa (EU), yang dijuluki dengan istilah “Brexit.”
Lalu, seperti yang kita semua ketahui, pada November, Donald Trump – seorang pengembang properti dari New York dan juga bintang acara reality show, menggunakan banyak strategi dari buku pedoman Duterte dan menggabungkannya dengan daya tarik primordial bagi kelompok supremasi kulit putih – berhasil mengamankan jabatan di Gedung Putih meskipun kalah dalam menggiring suara rakyat.
Namun begitu, marilah kita mulai dengan geopolitik!
China akan memperhatikan pemilihan-pemilihan umum di Asia ini dengan sangat cermat. China telah mengalami kerugian diplomatik sangat besar karena kemenangan tak terduga Dr Mahatir Mohamad di Malaysia tahun lalu. Mereka tidak akan mau melihat hal seperti ini terulang kembali.
Sementara itu, Filipina di bawah Duterte telah sepenuhnya pro terhadap Beijing tanpa kompromi. Sebelumnya, Philipina di bawah pendahulunya (Benigno Aquino III) adalah anti-China.
Baca juga: Utang dan Derita Petani India, Bom Waktu yang Siap Meledak
Pemungutan suara yang akan datang di Filipina dalam pertengahan pemerintahan Duterte, akan menjadi ujian penting bagi Duterte.
Jika kandidat Senator di kubu Duterte terpilih, ia dipastikan akan terus mengabaikan ekspansi militer China di Laut China Selatan, meskipun hanya memperoleh keuntungan ekonomi terbatas dari investasi Beijing.
Sementara itu penduduk Thailand sendiri, tidak pernah melihat China sebagai ancaman. Akan tetapi, sang petahana, Jenderal Prayuth Chan-o-cha (seperti kebanyakan pria Asia yang berlatar belakang militer) adalah tokoh “banteng” China.