Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Ketika Raksasa-Raksasa Asia Memilih

Kompas.com - 01/04/2019, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AKHIR pekan lalu, Asia telah memulai musim pemilihan umum hingga dua bulan ke depan. Sebanyak 1,2 miliar penduduk Asia akan berbondong-bondong ke TPS.

Dimulai dari Thailand (52 juta pemilih) pada 24 Maret, lalu India (900 juta pemilih), Indonesia (193 juta), dan Filipina (64 juta). Ini adalah jumlah pemilih yang sangat besar.

Namun, seperti biasa, kemungkinan hanya beberapa pihak saja di luar kawasan ini —terutama penduduk Eropa dan Amerika—yang akan memperhatikannya.

Ini adalah kerugian bagi mereka. Mengingat apa yang terjadi di Timur sering kali bergema di Barat. Mengapa? Lihat saja, sebelumnya ‘titik episentrum’ dari ‘gempa pemilihan umum’ ada di Filipina, yang kemudian mengirim gelombang ke Inggris serta Amerika Serikat.

Pada Mei 2016, seorang wali kota di kota kecil, Rodrigo Duterte mengejutkan dunia dengan memenangkan kontestasi kursi Kepresidenan Filipina.

Baca juga: Apakah Thaksin Masih Berpengaruh?

Wali Kota Davao ini meraih kekuasaan dengan menggunakan kombinasi berbahaya dari retorika pemimpin kuat dan informasi daring yang menyesatkan.

Iconoclast bertabiat keras ini (Duterte), entahlah muncul dari mana sehingga berhasil menangkap imajinasi populer penduduk Filipina.

Satu bulan kemudian, di Juni tahun 2016, pemilih di Inggris melawan prediksi pakar metropolitan dan lembaga survei dengan pilihan mereka yang sangat tidak terduga untuk keluar dari Uni Eropa (EU), yang dijuluki dengan istilah “Brexit.”

Lalu, seperti yang kita semua ketahui, pada November, Donald Trump – seorang pengembang properti dari New York dan juga bintang acara reality show, menggunakan banyak strategi dari buku pedoman Duterte dan menggabungkannya dengan daya tarik primordial bagi kelompok supremasi kulit putih – berhasil mengamankan jabatan di Gedung Putih meskipun kalah dalam menggiring suara rakyat.

 

Geopolitik di Asia

Namun begitu, marilah kita mulai dengan geopolitik!

China akan memperhatikan pemilihan-pemilihan umum di Asia ini dengan sangat cermat. China telah mengalami kerugian diplomatik sangat besar karena kemenangan tak terduga Dr Mahatir Mohamad di Malaysia tahun lalu. Mereka tidak akan mau melihat hal seperti ini terulang kembali.

Sementara itu, Filipina di bawah Duterte telah sepenuhnya pro terhadap Beijing tanpa kompromi. Sebelumnya, Philipina di bawah pendahulunya (Benigno Aquino III) adalah anti-China.

Baca juga: Utang dan Derita Petani India, Bom Waktu yang Siap Meledak

Pemungutan suara yang akan datang di Filipina dalam pertengahan pemerintahan Duterte, akan menjadi ujian penting bagi Duterte.

Jika kandidat Senator di kubu Duterte terpilih, ia dipastikan akan terus mengabaikan ekspansi militer China di Laut China Selatan, meskipun hanya memperoleh keuntungan ekonomi terbatas dari investasi Beijing.

Sementara itu penduduk Thailand sendiri, tidak pernah melihat China sebagai ancaman. Akan tetapi, sang petahana, Jenderal Prayuth Chan-o-cha (seperti kebanyakan pria Asia yang berlatar belakang militer) adalah tokoh “banteng” China.

Meskipun begitu, pemimpin Thailand yang terpilih secara demokratis – walaupun skenario ini kecil kemungkinan terjadi – mungkin memiliki pandangan yang lebih bernuansa.

Apapun masalahnya, pengunjung dari China sedang memotori peningkatan kedatangan wisatawan, dan tentu saja sang mantan jenderal akan enggan untuk mengatur ulang hubungan ini.

India dan Indonesia – keduanya adalah anggota G20 – walaupun waspada terhadap ambisi geopolitik Beijing, namun keduanya sangat bersemangat untuk menerima uang tunai dari China; terutama untuk investasi infrastruktur dan manufaktur skala besar.

Jika Joko Widodo atau Narendra Modi dikalahkan atau bahkan dilemahkan, kebijakan sangat mungkin berubah.

Namun, Modi – yang dijuluki sebagai chowkidar atau penjaga negara oleh rekan BJP-nya – sangat dipermalukan oleh penolakan China baru-baru ini untuk menegakkan sanksi terhadap Azhar Masood, ketua dari Jaish-e-Muhammad (kelompok teroris yang diakui PBB) dan diduga sebagai dalang dari pemboman Pulwama, di mana 40 tentara India terbunuh satu bulan yang lalu.

Pergeseran politik ini juga dapat menimbulkan masalah bagi rencana peluncuran jaringan 5G global dari Huawei.

Kecurigaan India terhadap tujuan China (kedua negara berbagi batas wilayah yang sangat diperdebatkan) mungkin meningkatkan tawaran lebih mahal dari Qualcomm.

Terkunci dari salah satu pasar telekomunikasi terbesar dan terpesat di dunia akan menjadi pukulan pahit. Pemerintah negara-negara ASEAN sendiri terlihat tidak khawatir, namun politik dan lobi Amerika dapat membahayakan rencana Huawei.

Melanjutkan pembahasan terkait sektor ekonomi, keempat negara yang akan menyelenggarakan Pemilihan Umum ini memiliki tingkat pertumbuhan (rata-rata di atas 4 persen per tahun) yang membuat eksportir Eropa girang.

Pada saat bersamaan, sebagai importir yang haus minyak, keempat negara secara tegas dilirik oleh produser dari Timur Tengah – dengan Saudi yang bertanggung jawab mengamankan dan mempertahankan akses pasar ini.

Penting juga untuk diingat bagaimana pihak berwenang di Indonesia memicu gelombang global ketika mereka melarang terbang Pesawat Boeing 737 Max 8.

Menariknya, pembuat kebijakan di Amerika juga dipaksa untuk mengikuti langkah Indonesia, yang menyebabkan meningginya rasa tidak percaya bagi perusahaan dan institusi AS.

Tren ini dapat direplikasi jika raksasa-raksasa Asia ini berbalik membatasi pengaruh dan keuntungan dari Google, Facebook, Amazon, dan Netflix.

Tentu saja, dalam hal ekonomi, India adalah hadiahnya. Sebagai ekonomi ketiga terbesar di dunia (dalam hal Paritas Daya Beli ), dengan tingkat pertumbuhan 6-7 persen dan Premier yang ambisius dan ekspansif, banyak yang berharap Subkontinen ini akan menjadi mesin pertumbuhan global kedua di Asia dan menyeimbangi China.

Sebagaimana demikian, India telah menggantikan China sebagai pembeli terbesar minyak sawit dan batu bara Indonesia.

 

Mari kembali ke politik!

Mungkinkan hasil pemilihan umum ini mengindikasikan tren global? Bagaimanapun juga, Filipina dan India adalah dua penyedia jasa terbesar untuk perangkat lunak, teknologi informasi, dan Business Process Outsorcing (BPO) – menghasilkan keuntungan yang mencapai jumlah miliaran.

Penulis curiga bahwa budaya perang daring akan ditentukan dalam pabrik-pabrik eksploitatif hebat di Abad ke-21: buzzer di Manila, Bangalore, dan di Hyderabad.

Tetapi, tiga tahun berlalu, pertanyaan penting: apakah pendulum politik akan menjauh dari Ketidakpatutan Duterte?

Apakah mungkin kita kembali ke norma demokrasi liberal? Atau apakah kemunculan kembali politisi Demokrat di AS dan terpilihnya Alexandria Ocasio-Cortez yang penuh semangat ini hanya keajaiban belaka?

Tanda-tandanya tidak meyakinkan. Di India, berita palsu yang muncul sepertinya menimbun media konvensional – lagipula, kebanyakan media ini telah menjadi pesorak BJP dan Modi.

Serangan teroris dan ketegangan yang meningkat dengan Pakistan telah meningkatkan kemarahan di India. Banyak yang bertanya-tanya apakah idealisme Nehruvian yang sekular dapat diraih kembali dalam lingkungan yang penuh dengan komunalisme dan hoaks.

Di Indonesia, ketika kampanye presiden sudah memasuki tahap akhir, kita pun tak bisa lupa akan kasus Basuki Tjahaja Purnama yang turun di 2017 oleh tuduhan penistaan agama yang menyebar di media sosial.

Jadi ketika 1,2 miliar penduduk Asia pergi memberikan suaranya, penting untuk mengingat seberapa besar yang dipertaruhkan.

Dunia harus memperhatikan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com