Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyiksaan TKI di Malaysia, Kisah Suram yang Seolah Tiada Akhir

Kompas.com - 13/02/2018, 19:58 WIB
Ardi Priyatno Utomo,
Ervan Hardoko

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Adelina Lisao, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggal di Rumah Sakit Bukit Mertajam, Malaysia, Minggu (11/2/2018).

Sehari sebelum meninggal, Sabtu (10/2/2018), petugas penyelamat menemukan Adelina berada di luar rumah majikannya di Penang.

Ketika ditemukan, perempuan 21 tahun itu menderita luka-luka di tubuhnya. Antara lain di kepala, wajah, dan terdapat nanah pada bekas luka bakar di kaki.

Kabar kematian Adelina merupakan sedikit dari deretan kasus penyiksaan para TKI di Malaysia yang seakan tidak ada habisnya.

Baca juga : Sebelum Meninggal, TKI di Malaysia Tidur di Luar Bersama Anjing

Harian The New York Times melansir, pada 2009, Indonesia pernah memutuskan untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja, terutama perempuan, ke Malaysia.

Moratorium tersebut diberikan setelah muncul berbagai kasus penyiksaan yang diterima TKI yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Hal itu antara lain kasus Nirmala Bonat yang disiksa majikannya, seorang perempuan bernama Yim Pek Ha di 2003.

"Moratorium itu dicabut pada 2011 setelah kedua negara menyetujui nota kesepahaman perlindungan bagi TKI," ungkap New York Times dalam laporannya.

Namun, setelah moratorium dicabut, laporan tentang penyiksaan pekerja Indonesia di Malaysia nyatanya tidak pernah surut.

Lalu muncul kasus Siti Romlah, TKI asal Jember, Jawa Timur, yang memutuskan pulang dengan kondisi tubuh lemas dan penuh luka.

Baca juga: Disiksa Majikan, TKI yang Tewas di Malaysia Tak Pernah Lapor ke KJRI

Selama lima tahun di sana, Siti mengaku sering menerima perlakuan kasar, seperti disiram air panas, atau dipukul dengan benda yang ada di rumah majikannya.

"Ya dipukulilah kalau kurang benar kerjanya," ujar Siti saat itu pada 7 November 2017.

Kemudian pada 21 Desember 2016, seorang TKI bernama Suyanti ditemukan pingsan dekat selokan Jalan PJU 3/10 Mutiara Damansara.

Pekerja asal Sumatera Utara itu menderita luka di sekujur tubuh, serta kedua matanya lebam.

Ketika siuman, Suyanti bercerita penyiksaan dari majikannya dimulai setelah dia bekerja selama satu pekan.

Puncaknya di 21 Desember, Suyanti memutuskan kabur setelah sang majikan mengancamnya menggunakan pisau besar.

Sebelum kasus Adelina mencuat, seorang TKI bernama Sitiyah juga dilaporkan disiksa oleh majikannya Januari lalu.

Perempuan asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu juga mengalami nasib malang dengan telantar di Batam, Kepulauan Riau.

Baca juga: Kemenlu Lakukan Pendampingan Hukum Kasus TKI yang Tewas di Malaysia

 

Adelina Lisao tidur di beranda rumah di Taman Kota Permai, Penang, Malaysia, ketika ditemukan Sabtu (10/2/2018). TKI asal Nusa Tenggara Timur itu ditemukan dengan berbagai luka di wajah dan kepala. Perempuan 21 tahun itu meninggal dunia sehari berselang (11/2/2018).Steven Sim/The Malay Online Adelina Lisao tidur di beranda rumah di Taman Kota Permai, Penang, Malaysia, ketika ditemukan Sabtu (10/2/2018). TKI asal Nusa Tenggara Timur itu ditemukan dengan berbagai luka di wajah dan kepala. Perempuan 21 tahun itu meninggal dunia sehari berselang (11/2/2018).

Tegas, tetapi Belum Cukup

Pemerintah Malaysia bukannya tidak tegas dalam menjatuhkan hukuman kepada warganya yang terbukti menyiksa PRT asal Indonesia.

Pada Maret 2014, Pengadilan Tinggi Malaysia menjatuhkan vonis mati dengan cara digantung kepada pasangan yang terbukti membunuh TKI bernama Isti Komariah.

Fong Kong Meng dan Teoh Ching Yen dinyatakan bersalah membunuh Isti pada 2011 dengan membiarkannya kelaparan dan tidak memberikan obat-obatan.

Baca juga : BP3TKI Nunukan Tunggak Biaya Tes Kesehatan TKI Rp 460 Juta

Namun, seperti dilontarkan Direktur Advokasi Organisasi Perlindungan HAM dan Pekerja Tenaganita, Glorene Das, Malaysia harus membuat hukum yang benar-benar menjamin para pekerja migran di negaranya.

Jika merujuk kepada Hukum Tenaga Kerja Malaysia, para pekerja seperti Adelina diklasifikasikan sebagai "pelayan domestik".

Akibatnya, secara tidak langsung bakal menciptakan konstruksi pemikiran "hubungan majikan-pelayan" di kalangan pemberi kerja.

"Kami harus secepatnya menyelidiki hingga ke akarnya mengapa mereka (pemberi kerja) bisa merasa melakukan hal normal ketika menyiksa pekerja mereka," kata Das.

Jika tidak, tambah Das, ribuan migran lain yang bekerja sebagai PRT baik dari Indonesia, Filipina, dan Myanmar, terancam mengalami hal serupa.

"Kematian satu pekerja domestik sudah terlalu banyak. Penyebaran kekerasan harus dihentikan," ujar Das kembali.

Baca juga: Kasus TKI Tewas di Malaysia, Organisasi HAM Inginkan Perlindungan PRT

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com