Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Perempuan Jepang Tertarik pada ISIS, Tinggalkan Negeri Damai?

Kompas.com - 15/09/2017, 14:00 WIB

KOMPAS.com – Menurut laporan media, lima perempuan Jepang termasuk yang ditahan setelah jatuhnya markas besar "Negara Islam di Irak dan Suriah" di dekat Mosul.

Mengapa mereka pergi dari negaranya yang aman dan damai ke kawasan perang, negeri antah-berantah dan penuh kekerasan itu?

Berita bahwa beberapa perempuan Jepang ditahan di Irak, setelah mengadakan perjalanan ke sana untuk menikahi anggota organisasi teror yang menyebut diri Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) mengejutkan banyak orang di Jepang.

Namun demikian, tidak banyak simpati diutarakan bagi penderitaan kelima perempuan itu.

Laporan media dari Irak mengungkap lebih dari 1.330 perempuan asing, juga anak-anak, saat ini ditahan di sebuah kamp pengungsi di bagian utara Irak.

Warga negara asing tersebut, yang menurut Associated Press adalah keluarga para pejuang ISIS, menyerahkan diri kepada pasukan Kurdi akhir Agustus 2017 setelah markas ISIS Tal Afar, dekat Mosul, jatuh ke tangan pasukan Kurdi.

Baca: ISIS Rilis Video Pemenggalan Seorang Sandera Jepang

Warga asing diperkirakan berasal dari 14 negara, dan menurut majalah Jepang Shukan Bunshun, lima orang adalah warga negara Jepang.

Pemerintah Jepang tidak memberikan informasi apa pun, misalnya tentang nama atau umur lima orang itu.

Namun, ada spekulasi, setidaknya seorang dari perempuan yang ditahan mengadakan perjalanan ke Irak untuk menikahi seorang pejuang ISIS.  Dari lima orang itu kemungkinan juga ada anak-anak.

Laporan mengejutkan Jepang, karena selama ini, satu-satunya laporan bahwa ada warga Jepang yang berusaha bergabung dengan ISIS adalah seorang mahasiswa dari universitas Hokkaido yang ditahan setelah mengatakan akan ikut revolusi.

Dampak medsos

Di Eropa, laporan tentang perempuan yang pergi untuk menjadi istri militan ISIS selalu dapat perhatian besar.

Ceritanya selalu berawal dengan perempuan muda yang mudah terpengaruh, yang dirayu lewat media sosial, dan diyakinkan untuk pergi dari negaranya yang damai dan stabil untuk tinggal di kawasan perang.

Makoto Watanabe, profesor bidang komunikasi dan media di Universitas Hokkaido Bunkyo, mengatakan kepada Deutsche Welle, kemungkinan besar cara serupa juga digunakan untuk menarik perempuan Jepang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com