Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lewat Referendum, Rakyat Kolombia Tolak Berdamai dengan Pemberontak Komunis

Kompas.com - 03/10/2016, 07:46 WIB

BOGOTA, KOMPAS.com — Sebuah referendum digelar di Kolombia, Minggu (2/10/2016), terkait perjanjian damai yang disepakati pemerintah dan pemberontak komunis FARC.

Setelah penghitungan suara hampir selesai, hasilnya sungguh mengejutkan. Lebih dari separuh rakyat Kolombia menolak untuk berdamai dengan pemberontak.

Bahkan, para pemilik suara memilih agar pemerintah melanjutkan perang melawan gerilyawan Marxis yang sudah berlangsung lebih dari lima dekade itu.

Referendum itu digelar sekitar sepekan setelah Presiden Juan Manuel Santos menandatangani kesepakatan damai dengan pemimpin FARC Timochenko untuk mengakhiri konflik yang sejak 1964 sudah menewaskan lebih dari 200.000 orang itu.

Berdasarkan hasil perhitungan suara di 99 persen TPS menunjukkan, 50,2 persen suara menentang kesepakatan damai dan 49,8 persen menyetujuinya.

Jumlah rakyat Kolombia yang memberikan suara dalam referendum ini sebanyak 13 juta atau kurang dari 40 persen seluruh pemilik suara.

Hasil ini menjadi pukulan telak bagi Presiden Santos, yang sejak terpilih pada 2010 sudah berjanji akan mengakhiri konflik yang juga mengakibatkan 8 juta orang kehilangan tempat tinggal itu.

Padahal, saat pemerintah Kolombia dan FARC meneken kesepakatan itu di kota wisata Cartegena, dunia menyambut dengan bahagia dan penuh harapan baik.

Buktinya, upacara penandatanganan kesepakatan itu banyak dihadiri pemimpin dunia, termasuk Sekjen PBB Ban Ki-moon, Presiden Kuba Raul Castro, dan Menlu AS John Kerry.

Bahkan, pasca-kesepakatan ini Uni Eropa langsung mengumumkan segera menghapus FARC dari daftar hitam kelompok teroris dunia.

Sesuai perjanjian itu, maka sekitar 7.000 anggota sayap militer FARC akan meletakkan senjata dan kembali ke masyarakat bersama 17.000 anggota non-kombatan yang nantinya akan membentuk partai politik yang sah.

Namun, ternyata banyak rakyat Kolombia yang tak menerima begitu saja perjanjian damai ini. Sebab, mereka menginginkan pelanggaran HAM yang dilakukan kedua pihak selama konflik harus diusut tuntas.

Pihak gerilyawan dituduh kerap menculik warga sipil untuk mendapatkan uang tebusan, memerkosa para perempuan, dan melakukan pembunuhan secara serampangan.

Celah inilah yang tampaknya tak dipikirkan pemerintahan Presiden Santos sehingga digunakan mantan presiden yang masih populer, Alvaro Uribe, untuk menggalang penolakan terhadap langkah bersejarah ini.

Uribe sebelumnya sudah menyampaikan kemarahannya karena para anggota FARC kelak bisa melenggang masuk ke parlemen tanpa harus menjalani hukuman atas perbuatan mereka melawan negara.

Namun, hingga kini kedua pihak, pemerintah dan FARC, menegaskan tak memiliki rencana lain jika kesepakatan damai ini juga akhirnya tak diratifikasi parlemen Kolombia. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com