Sebelumnya, pada Selasa (19/11/2013), PBB lewat sebuah resolusi menyerukan agar Pemerintah Myanmar memberikan status warga negara bagi etnis Rohingya dan menghentikan kekerasan terhadap mereka.
Namun, juru bicara Pemerintah Myanmar, Ye Htut, mengatakan bahwa negerinya tak bisa ditekan begitu saja untuk mengubah kebijakan terkait status kewarganegaraan etnis Rohingya.
"Kami tak bisa memberikan status warga negara bagi mereka yang tidak memenuhi syarat hukum, apa pun tekanannya. Ini adalah hak kedaulatan kami," kata Ye Htut.
Ye Htut menambahkan, Pemerintah Myanmar menolak untuk menggunakan kata Rohingya untuk menyebut warga Muslim yang tinggal di negara bagian Rakhine itu.
Htut menambahkan, hanya etnis Bengali di negara bagian Rakhine yang memenuhi syarat mendapatkan status warga negara, seperti tertuang dalam undang-undang kewarganegaraan 1982.
Undang-undang itu menegaskan bahwa etnis minoritas di Rakhine harus membuktikan mereka sudah tinggal di Myanmar sebelum 1823 untuk mendapatkan status kewarganegaraan Myanmar. Syarat ini secara efektif membuat etnis Rohingya tak bisa mendapatkan status warga negara Myanmar.
Bahkan, Departemen Imigrasi Myanmar mengakui dalam sensus penduduk yang akan digelar untuk kali pertama selama tiga dekade terakhir, tidak mencantumkan etnis Rohingya di dalam dokumen sensus.
Penolakan soal status kewarganegaraan untuk etnis Rohingya ini bahkan mendapatkan dukungan dari banyak politisi, termasuk dari kelompok gerakan pro-demokrasi.
"Etnis Rohingya tidak eksis di bawah undang-undang Myanmar," kata Nyan Win, juru bicara Liga Nasional Demokratik, partai pimpinan Aung San Suu Kyi.
Sebagian besar warga Myanmar menganggap etnis Rohingya adalah imigran ilegal Bangladesh dan menolak menganggap mereka sebagai bagian negeri itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.