Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Apakah Thaksin Masih Berpengaruh?

Kompas.com - 31/03/2019, 22:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Anda pasti masih mengingat Thaksin Shinawarta. Pada 2014, ratusan ribu orang memenuhi jalanan, mengekspresikan kemarahan mereka terhadapnya dan seluruh keluarga Shinawatra”  ~EPA~

SOSOK ini telah mendominasi politik Thailand selama lebih dari 20 tahun. Dan justu bukan Raja Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun yang menguasai isu politik di negeri itu.

Di sisi lain, pemimpin militer yang sebenarnya memiliki maksud baik (tapi tetap tidak berdaya), Prayuth Chan-ocha tampak hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah kontemporer kerajaan ini.

Dibenci oleh para elit, Thaksin Shinawarta, asli Chiang Mai yang terkenal tangguh, miliuner telekomunikasi yang menjadi politikus (dan Perdana Menteri pada 2001-2006) ini mampu mempertahankan pengaruhnya meski telah digulingkan dan kemudian diasingkan di 2008.

Bahkan, partai politik yang memiliki hubungan dengannya—baik Pheu Thai atau Thai Rak Thai dan para penerus Partai Kekuatan Rakyat (“People’s Power Party”) —berhasil memenangkan semua pemilihan nasional sejak 2001.

Selama 11 tahun terakhir, pria berusia 69 tahun tersebut belum pernah secara terbuka menginjakan kaki di kerajaan tersebut tetapi kehadirannya, atau lebih tepat “ketiadaannya”, tetap menjadi elemen penentu dalam kehidupan politik di Thailand.

Bagaimana dan mengapa pria ini, seorang rakyat biasa, memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap imajinasi publik?

Daya tarik utamanya terletak pada terobosan-terobosan kebijakannya (dikenal sebagai “Thaksinomics”) yang ia buat selama masa pemerintahannya sebagai Perdana Menteri.

Memperoleh kekuasaan tiga tahun setelah Krisis Finansial Asia tahun 1998, Thaksin memasuki pemerintahan dengan membawa kejutan—kejuatan populis—menghidupkan kembali ekonomi yang hancur sampai-sampai PDB Thailand mencapai 6,15 persen pada tahun pertamanya memimpin.

Baca juga: Cegah Junta Militer Berkuasa, 7 Partai Politik Thailand Bentuk Koalisi

Berfokus pada populasi pedesaan yang sebelumnya diabaikan, Thaksin melembagakan sebuah sistem mikrokredit raksasa – Program Satu Desa, Satu Juta Baht.

Lebih lanjut, “Kebijakan 30 Baht” (Program pelayanan kesehatan universal pertama Thailand) berhasil merubah kehidupan kaum petani yang hingga saat ini tetap merupakan basis pendukungnya yang paling setia – khususnya di daerah-daerah dengan jumlah pemilih besar seperti di Utara dan Timur Laut (atau daerah Isan).

Pemimpin-pemimpin selanjutnya berusaha meniru model populis Thaksin, namun tidak ada yang berhasil menandingi kesuksesan Thaksin.

Namun, dengan semakin dekatnya pemilu pertama Thailand selama 8 tahun, pemimpin yang sekarang tinggal di Dubai ini menghadapi tantangan.

Konstitusi yang baru semakin memperkuat elemen konservatif dan militer dalam Parlemen sekaligus melemahkan hasil demokrasi.

Thaksin telah berusaha untuk melawan balik. Melalui sebuah langkah mengejutkan, salah satu mesin politiknya, Partai Thai Raksa Chart (TRC), berupaya untuk menominasikan kakak perempuan Raja – Putri Ubolratana—sebagai kandidat Perdana Menteri-nya.

Akan tetapi, langkah yang sangat kontroversial tersebut dengan cepat digagalkan oleh Istana. Tanpa berlam-lama, pencalonannya ditolak. Malapetaka kian bertambah ketika TRC dibubarkan beberapa waktu lalu  oleh Mahkamah Konstitusi.

Namun memori adalah sesuatu yang singkat, terlebih lagi di masa media sosial.

Dengan demikian, meski banyak orang Thailand yang tidak setuju dengan Jenderal Prayuth, seperti Nirada Inruang, seorang ibu beranak satu yang berusia 24 tahun dan memiliki butik di kota Phitasanulok, ia juga kesulitan untuk merasa antusias terhadap milyader yang diasingkan tersebut.

Ia menjelaskan, “Saya tidak akan memilih untuk Thaksin, generasi saya kesulitan untuk bersimpati dengan Thaksin. Kami terlalu muda untuk mengerti politik pada masa kepemimpinannya sebagai Perdana Menteri. Saya baru berusia 15 tahun ketika ia diasingkan.”

“Memberikan uang tidak akan memenangkan dukungan kami. Saat ini hal itu sudah tidak efektif lagi.”

Sebaliknya, ia berencana untuk memberikan suaranya kepada Partai Masa Depan Maju (FFP) dan pemimpin tampan berusia 40 tahunnya – Thanathorn Juangrrongruangkit, yang lebih dikenal sebagai “Ake” (diterjemahkan secara longgar sebagai “Ayah”)

Nirada adalah satu dari 7 juta pemilih pemula Thailand – sebuah kelompok yang menjadi lebih peduli politik sejak adik perempuan Thaksin, Yingluk, digulingkan dari puncak pemerintahan tahun 2014.

Hidup pada masa pertumbuhan ekonomi rendah dan kesempatan terbatas, sebagian masyarakat Thailand menjadi semakin frustrasi terhadap kegagalan pemerintah dalam membawa perubahan yang berarti.

Baca juga: Jelang Pemilu Thailand, 15 Calon Ganti Nama Thaksin dan Yingluck

Bagi Nirada, yang dulunya bermimpi untuk menjadi apoteker, masa depan tidak terlihat gemilang dan pemerintah milliter saat ini mungkin harus menanggung dampak dari kekecewaan masyarakatnya.

Disamping itu, mayoritas pemilih milenial telah dibuat jijik dengan pertarungan antara “kaos merah” dan “kaos kuning” yang pernah mendominasi Thailand (secara khusus Bangkok) pada paruh awal dekade ini.

Pada saat yang sama, dengan gaya yang terlihat sangat menyerupai Thaksin, Ake mampu menimbulkan kehebohan yang luar biasa.

Ia dan timnya sangat mahir dalam menggunakan budaya populer dalam kampanyenya – mengumpulkan banyak pengikut melalui hashtag viral #fahrakpor – sebuah kalimat dari serial tv populer yang berarti “Fah cinta Ayah”.

Sejak didirikan, FFP berfokus pada tuntutan-tuntutan pemilih Thailand. Mereka menyerukan untuk desentralisasi kekuasaan yang lebih besar, kebijakan-kebijakan untuk menghapus (atau setidaknya meminimalisasi) kesenjangan pendapatan dan mengurangi anggaran pertahanan.

Hal ini, didukung dengan pembubaran TRC, dapat menyebabkan migrasi pemilih kepada FFP, secara khusus karena Ake dan partainya merepresentasikan pesan politik yang dinamis dan positif.

Baca juga: Beredar Foto Thaksin dan Yingluck Shinawatra Berbelanja di Beijing

Meski demikian, basis pendukung Thaksin di Utara dan Timur Laut tetap tidak terguncang dan Pheu Thai, partai dibawah pengaruhnya yang tersisa, tampaknya juga akan mendapatkan limpahan suara.

Oleh karena itu, meski “Miliader Prai” (miliader proletarian) FFP tersebut tampaknya akan membangkitkan semangat pemilih muda, Thaksin tetaplah lawan yang berat.

Tentu saja, mengingat kebiasaan elit Thailand dalam menekan kemauan rakyat, pemilu yang mendatang bisa jadi mengecewakan mengingat komplotan anggota militer, anggota kerajaan dan pemimpin birokratis akan bekerja di balik layar untuk mengagalkan suara populer.

Sebuah kedatangan kembali seperti Tun Dr Mahatir Mohamad bukanlah sesuatu yang mungkin bagi Thaksin

Meski demikian, pada pemilihan tanggal 24 April, kita mungkin akan menyaksikan (dengan campur tangan elit, tidak diragukan lagi) kemunculan seorang Klon Thaksin – Ake yang karismatik dengan agenda optimistis dan reformisnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com