Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

New Amsterdam, Kota Masyhur yang Berubah Nama Jadi New York

Kompas.com - 31/03/2019, 07:13 WIB
Veronika Yasinta

Penulis

KOMPAS.com - Berbagai julukan tersemat pada New York City seperti Gotham, the Big Apple, dan Kota yang Tak Pernah Tidur.

Kota ikonik ini merupakan kota terpadat di AS dengan jumlah populasi 8,6 juta jiwa. Wwilayah ini juga dikenal sebagai ibu kota budaya dan keuangan dunia.

Pada awalnya, kota ini adalah sebuah pulau kecil bernama Manna-hata, sebutan yang dipakai oleh suku asli Amerika. Manna-hata berarti tanah surgawi.

Ternyata di balik riuhnya suasana di kota tersebut, New York menyimpan banyak sejarah, termasuk sempat diberi nama New Amsterdam.

Koloni Belanda

Awalnya, penjelajah Italia Giovanni da Verrazano ditugaskan Raja Perancis menemukan pelabuhan di kota itu pada 1524.

Baca juga: Di Balik Kemewahan Pemakaman Bos Mafia New York yang Tewas Ditembak

Kemudian, wilayah tersebut ditemukan kembali oleh Henry Hudson, kapten laut Inggris yang bekerja untuk pedagang Belanda.

Para pedagang itu sebelumnya melihat Pulau Manhattan sebelum berlayar di sebuah sungai, yang kini dikenal sebagai Sungai Hudson.

Jika di Indonesia mengenal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), di Amerika Utara terdapat Geoctroyeerde Westindische Compagnie atau Perusahaan Hindia Barat Belanda atau West-Indische Compagnie (WIC).

Koloni Belanda menduduki wilayah itu pada 1624 melalui WIC, yang mencakup seluruh New York City saat ini dan sebagian dari Long Island, Connecticut, dan New Jersey.

Peta kota asli New Amsterdam pada 1660. (Wikipedia) Peta kota asli New Amsterdam pada 1660. (Wikipedia)
Pemukiman Belanda tumbuh hingga ke ujung Pulau Manhattan, dan akhirnya diberi nama New Amsterdam.

Untuk melegitimasi klaim Belanda atas New Amsterdam, Gubernur Belanda Peter Minuit secara resmi membeli Manhattan dari suku asli Amerika, Indian.

Legenda menyebutkan, penghuni pulau Manhattan yang juga disebut sebagai Manhattan tidak sepakat menyerahkan pulau dengan imbalan perhiasan kecil senilai sekitar 60 gulden.

Karena mereka tidak tahu soal kontrak properti di Eropa, orang-orang Manhattan terlibat konflik bersenjata dengan pemukim Belanda di New Amsterdam.

Baca juga: Berkat Anjing, Pelari Buta Ini Cetak Sejarah di New York City Half Marathon

Pada 1641, perang berkepanjangan pecah antara penjajah dan orang-orang Manhattan sehingga menyebabkan 1.000 orang tewas.

New Amsterdam menjadi pusat perdagangan yang sibuk antara Amerika Utara, Karibia, dan Eropa.

Sekitar 18 bahasa digunakan di New Amsterdam karena beragam etnis tumpah ruah di situ, termasuk dari Denmark, Inggris, Perancis, Italia, Jerman, Norwegia, Polandia, Portugis, Skotlandia, Swedia, dan Bohemia.

Pada 1653, Pulau Manhattan dikelilingi oleh dinding ke arah utara. Jalan di sebelahnya disebut Wall Street. Koloni pun menjadi makmur di bawah pemerintahan Peter Stuyvesant.

Pada tahun yang sama, New Amsterdam resmi dikategorikan sebagai kota.

Duke of York

Di sisi, ada upaya Inggris untuk mengolonisasi Amerika Utara. Raja Charles II mendeklarasikan semua wilayah antara Delaware dan Connecticut Rivers adalah milik saudaranya, James, Duke of York.

Belanda menyerahkan New Amsterdam ke Inggris, dan berhasil mendapatkan kembali pada 1673. Namun, New Amsterdam jatuh sekali lagi ke tangan Inggris pada 1674.

New Amsterdam berganti nama menjadi New York untuk menghormati Duke of York.

Baca juga: Kisah Tani, Tunawisma Cilik asal Nigeria Juara Turnamen Catur New York

Pada 1686, New York menjadi kota pertama di koloni yang menerima piagam kerajaan.

New York terus tumbuh pesat dan memiliki sekitar 7.000 penduduk pada 1700. Pada 1776, populasinya menjadi 25.000 jiwa.

Kemudian pada 1800, New York City ditinggali sekitar 60.000 penduduk. Setelah Revolusi Amerika, New York menjadi ibu kota pertama AS.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com