Pada malam hari, dia menjadi penyanyi di radio dan bekerja paruh waktu untuk lembaga misionaris.
Namun, perjuangannya untuk belajar hukum begitu keras karena di harus membagi waktu antara kelas dan anak-anak.
Dia meminta bantuan kerabat yang merawat anak-anaknya, kemudian menyewa sebuah kamar selama beberapa bulan untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian yang ketat.
Pada 1952, dia menjadi perempuan pertama yang lulus dalam National Judicial Examination.
Setelah berhasil lulus, banyak orang yang menemuinya untuk mendapatkan bimbingan, nasihat hukum, dan penghiburan secara gratis.
"Mereka semua miskin dan semuanya perempuan. Kantor saya menjadi pusat tempat orang menangis," kata Lee.
Pada 1963 menjadi tahun dimulainya persuasi gigihnya dan mencurahkan perhatiannya terhadap kaum perempuan, yang kemudian menghasilkan pemberlakukan undang-undang mengenai keluarga dan pembentukan Pengadilan Keluarga di Seoul.
Lembaga itu menjadi tempat bagi penduduk ibu kota dan wilayah sekitarnya untuk mencari keadilan melalui mediasi dan solusi rasional.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Zaha Hadid, Ratu Arsitektur Modern
Pada 1975, dia mendapat Penghargaan Ramon Magsaysay yang dikenal sebagai Asian Peace Prize karena jasanya mencari keadilan bagi kebebasan perempuan Kroea.
Keyakinan Lee terhadap cita-cita demokrasi liberal justru menciptakan masalah dengan pemerintahan Presiden Park Chung Hee yang otoriter.
Dia harus menjalani hukuman percobaan selama tiga tahun pada 1977 karena meminta Park untuk mundur, sebuah kalimat yang membuat dia dilarang menjalani profesi hukum selama 7 tahun.
Setelah bebas, reputasi Lee meningkat dan membuatnya mendirikan Pusat Bantuan Hukum Korea untuk Hubungan Keluarga.
"Itu merupakan benih kecil, tapi saya yakin kedamaian dalam keluarga menciptakan perdamaian di dunia," ucapnya.
Lembaga itu melayani lebih dari 10.000 klien setiap tahunnya.