Memang, ekonomi di negeri tersebut yang mulai melesu membuat kehidupan sehari-hari makin susah bagi masyarakatnya.
Banyak orang, seperti Melissa Teoh (bukan nama asli) berusia 34 tahun, seorang ibu yang juga bekerja sebagai Operations Associate, harus menerima realita naiknya biaya hidup ini.
“Saya membeli susu bubuk untuk anak saya, yang berusia 4 tahun, dari Malaysia. Satu kaleng di sana MYR 64, sedangkan di sini SGD 64. Biaya hidup kami sangat mahal… Saya khawatir untuk anak-anak saya,” kata Melissa.
Pada Maret 2018, lembaga riset The Economist Intelligence Unit menyatakan di antara 133 negara, biaya hidup di kota Singapura adalah yang termahal, selama lima kali berturut-turut, melampaui Hong Kong, Tokyo, dan Paris.
GST di Singapura sendiri sudah mencapai 7 persen, lebih tinggi dari Malaysia dulunya di 6 persen.
Namun skandal yang pernah meliputi Perdana Menteri Lee Hsien Loong sangat jauh di bawah level Najib.
“Skandal” terburuk Lee sampai saat ini, jika memang bisa disebut ”skandal”, adalah perdebatan dengan saudara-saudaranya, Lee Hsien Yang dan Dr Lee Wei Ling, pada pertengahan 2017 mengenai nasib rumah di 38 Oxley Road, yang dulu merupakan tempat tinggal ayah mereka dan pendiri Singapura, Lee Kuan Yew.
“Saya sangat khawatir sewaktu perdebatan mereka mencuat ke publik, kami baru saja kehilangan Lee Kuan Yew. Saya takut kalau pemerintah akan jatuh,” Melissa mengingat “skandal” itu.
Baca juga: Mengintip Kawasan GBK Milik Singapura, Tak Sekadar Olahraga
Namun, menurut Martino, keributan itu belum cukup. Problem utamanya di Singapura, menurut dia, adalah, “Tidak ada tokoh terkenal di oposisi yang dikenal orang muda dan tua, yang dapat memobilisasi rakyat Singapura sehingga memberi kesempatan untuk sebuah perubahan di pemerintah.”
Sebagian rakyat Singapura mengandalkan harapan mereka kepada Pritam Singh, Sekretaris Jenderal dari Partai Buruh (WP) yang juga ketua oposisi.
Dia merupakan bagian dari tim WP yang mengambil alih, secara mengejutkan, wilayah Dapil Aljuneid di bagian timur Singapura pada Pemilu 2011.
Namun, pria 41 tahun ini belum memiliki reputasi dan pencapaian setingkat Mahatir. WP mampu mempertahankan Aljuneid di 2015 dengan margin kurang dari 2 persen.
Lebih lagi, politik di Singapura kurang memiliki isu yang dapat menyatukan para pemilih – selain biaya hidup yang makin meningkat.
Suka atau tidak, Singapura bukanlah Malaysia, meskipun banyak hal yang mengikat kedua negara ini.
Momen emosional dalam perubahan demokratis yang dialami Malaysia tentunya tetap merupakan sebuah hal yang rakyat Malaysia dan Asia Tenggara dapat banggakan.
Bagaimanapun juga, dengan absennya kontroversi atau lawan yang berbobot, PAP kelihatannya akan masih berkuasa. Paling tidak untuk saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.