Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Ampannee Satoh, Menceritakan Perjuangan Pattani Melalui Lensa

Kompas.com - 22/07/2018, 12:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Kamera pertama saya adalah sebuah Canon sekali pakai. Tentunya, jaman itu masih pakai film.”

PADA MINGGU siang, di perbatasan kota Pattani, Thailand, Ampannee Satoh sedang duduk membelakangi sawah di bawah langit yang biru dan matahari yang terik. Suasana sangatlah tenang (hanya sekitar 44.000 penduduk di kota ini), meskipun baru sehari sebelumnya sebuah bom meledak di provinsi Yala di sebelahnya.

“Saya sekarang sudah pakai Nikon D200,” ujar fotografer berusia 28 tahun ini – yang juga seorang Muslim – sambal tertawa.

Ada sebuah galeri berwarna putih hanya berjarak beberapa meter. Foto-foto berukuran besar terpajang di dindingnya – menampilkan wanita-wanita tak bernama yang diselimuti kain hitam.

“Karya ini mengeksplorasi konsep kerendahan hati dan martabat yang direfleksikan di dalam Al Quran. Rujukannya ayat-ayat Al Quran. Saya ingin mengarahkan perhatian masyarakat kembali kepada kebiasaan dalam pakaian wanita,” kata Ampannee.

Baca juga: Syed Saddiq, Kunci Mahathir untuk Mendekati Generasi Muda

Serial Ampannee yang menarik, “The Light” sedang dipamerkan di salah satu tempat budaya terkenal di Thailand Selatan: Patani Artspace, sebuah galeri seni privat, ruang pertemuan yang menampilkan karya-karya kontemporer regional terbaik oleh seniman seperti Jehabdulloh Jehsorhoh dan Muhammadsuriyee Masu.

Di provinsi Pattani, kecuali Songkhla, sering disebut sebagai “wilayah Selatan”, dengan 80 persen populasinya adalah Muslim.

Lahir di distrik Yarang di Pattani, Ampanee pertama kali mencoba fotografi di rumahnya. “Saat SMA, saya sering mengambil foto keluarga saya… Itu hanyalah keisengan yang saya nikmati,” katanya. 

Di usia 19 tahun, ia masuk ke Universitas Rangsit di Bangkok – tempat ia sekarang tinggal dan mengajar – untuk belajar fotografi. “Saya tidak memiliki rencana karir selain itu. Saya selalu cinta dengan fotografi,” katanya.

Ampannee Satoh (28 thn) bersama salah satu karyanya dari koleksi ?The Light?.WANMUHAIMIN PHOTO/CERITALAH Ampannee Satoh (28 thn) bersama salah satu karyanya dari koleksi ?The Light?.
Pada 2010, saat konflik di wilayah Selatan dan di beberapa bagian Songkhla antara pasukan militan Barisan Revolusi Nasional (BRN) dan pemerintah Thailand mulai memanas, Ampannee pergi ke Perancis untuk meneruskan studi fotografinya.

“Saat itu saya berada di Arles dan saya mulai memakai hijab. Saya ingin mencobanya sendiri untuk memahami perasaan orang yang didiskriminasi,” kata Ampannee. Di saat yang sama, mantan Presiden Nicolas Sarkozy melarang burka dan cadar di Perancis.

Baca juga: Di Anjung Sejarah Perubahan Malaysia...

“Saya tidak dapat percaya apa yang sedang terjadi. Hal itu tidak bisa diterima,” katanya.  Setelah tersadarkan oleh perjuangan wanita Muslim di Perancis, ia kembali fokus ke penderitaan yang dialami oleh wanita di negaranya akibat dari konflik yang terjadi.

“Saya pernah mengambil foto-foto wanita lokal sebelum saya pergi ke Perancis, namun saya ingin melakukan lebih – terutama untuk yang memakai hijab, burka, atau cadar – menceritakan cerita mereka di dalam konflik yang terjadi di sini," kata Ampannee.

Ampanees Satoh mendiskusikan pamerannya yang berjudul ?The Light? yang mengangkat konsep kesederhanaan/kerendahan hati sebagaimana diajarkan Al-Quran.Muhaimin E-taela/Ceritalah Ampanees Satoh mendiskusikan pamerannya yang berjudul ?The Light? yang mengangkat konsep kesederhanaan/kerendahan hati sebagaimana diajarkan Al-Quran.
"Saya ingin menyoroti para janda yang mengalami kekerasan dan penganiayaan ketika suami mereka dibunuh oleh militer," lanjutnya.

Sejak 2001, ada sekitar 3.000 wanita yang menjadi janda di wilayah Selatan dan di beberapa bagian di Songkhla. “Mereka harus mengurus anak mereka sendiri. Sangat susah,” katanya.

Tentunya, kata “susah” adalah sebuah peremehan jika membicarakan mengenai kengerian akibat kekerasan tersebut.

Pada Oktober 2004, personil militer dan polisi menembak mati 7 demonstran di distrik Tak Bai, Narathiwat. Mereka juga menangkap 78 orang, menumpuk mereka secara tidak manusiawi di atas truk seperti bangkai hewan.

Baca juga: Renungan Seorang Biksu Thailand

 

Tidak ada yang selamat: mereka yang tertangkap, semuanya tewas antara karena sesak nafas atau tertimpa oleh berat badan-badan tersebut.

Konsep The Light menampilkan perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam dengan hanya sedikit kulit atau mata yang terpapar.WANMUHAIMIN PHOTO/CERITALAH Konsep The Light menampilkan perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam dengan hanya sedikit kulit atau mata yang terpapar.
Meskipun banyak dari karya Ampannee yang menelusuri identitas melalui gender, kepercayaan dan konflik, ia berpendapat bahwa arti karyanya melampaui perbatasan Thailand Selatan.

“Karya saya –terutama yang terkini– tidak hanya mengenai pengalaman lokal. Karya saya universal. Di bawah kain itu, bukan hanya wanita Thailand,” kata Ampannee.

Beberapa hari setelah pembukaan galerinya, Ampannee melihat keluar jendela mobilnya dan menatap ke arah keramaian di jalanan Bangkok yang macet dan berisik. “Ada restoran dekat sini yang menyajikan masakan Pattani,” ucapnya dengan hangat.

Di dunia, di tempat yang banyak wanita Muslim dari beragam kewarganegaraan, bahasa, dan warna kulit sedang mengalami penindasan dalam beragam bentuk. Menemukan sebuah bahasa yang sama di dalam seni sangatlah penting jika seseorang ingin tetap tegar, apalagi dalam mengatasi kekerasan dan tragedi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com