KAIRO, KOMPAS.com - Ali Abdelaziz memandang anak-anaknya sebagai anugerah Tuhan, sehingga kini dia memiliki 10 anak. Sementara, pemerintah Mesir sedang berjuang mengendalikan "malapetaka populasi".
Abdelaziz bekerja di ibu kota Mesir sebagai penjaga pintu di sebuah gedung, tapi anak-anaknya tinggal di desa bersama dengan ibunya, di selatan provinsi Minya, di mana biaya hidup lebih murah.
"Anak adalah jaminan perlindungan. Mereka menjaga orangtua ketika tumbuh dewasa," ucapnya.
Kelebihan populasi di Mesir makin menekan perekonomian, yang sudah goyang ketika terjadi gejolak politik dan keamanan sejak pemberontakan 2011, yang menggulingkan mantan presiden Hosni Mubarak.
Baca juga : Mesir Dapat Pinjaman Rp 81,2 Triliun, Ini Pesan IMF
Presiden Mesir Abdel Fattah Al Sisi mengatakan pertumbuhan populasi menjadi tantangan yang sama kritisnya dengan terorisme.
Pemerintah telah meluncurkan kampanye keluarga berencana pada tahun ini dengan slogan "dua cukup", untuk menahan fenomena itu.
Berbeda dengan Abdelaziz, ibu dari tiga anak, Hayam Mohamed, yang tinggal di desa Umm Khenan, provinsi Giza, justru tidak ingin memiliki anak lagi dan menerapkan program keluarga berencana.
"Aku tidak ingin anakku merasa kekurangan," ucapnya setelah menerima pil kontrasepsi gratis, dari pusat kesehatan di desanya.
Baca juga : Jelang Natal, Mesir Naikkan Tingkat Keamanan di Gereja
"Sekolah itu mahal, dan kehidupan menjadi lebih sulit dengan berbagai kenaikan harga," tambahnya.
"Jika aku melahirkan lima atau enam anak, aku tidak sanggup untuk memberi mereka makan," ucap Mohamed.
Sementara itu, dokter di pusat kesehatan, Fardous Hamed mengatakan jumlah orang yang ikut program keluarga berencana terus bertambah sejak nilai tukar mata uang Mesir, pound, anjlok pada November 2016.
"Kepedulian orang-orang di sini semakin bertambah," kata Hamed.
Sejak nilai tukar mata uang Mesir mengambang bebas, pound kehilangan lebih dari setengah nilainya dan inflasi meningkat 33 persen pada September 2017.
Kepala Badan Pusat Statistik Mesir, Abu Bakr El Gendy menggambarkan lonjakan populasi di negaranya sebagai sebuah malapetaka.