Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

"Jika Kita Dapat Melepaskan Diri dari Politik Ras, Kita Akan Jadi yang Lebih Baik"

Kompas.com - 21/12/2017, 13:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

"Sama saja dengan tubuh kita," lanjut Prashanth. Sel harus berkomunikasi satu sama lain agar berfungsi. Saat sinyal antar sel rusak, saat itulah tubuh Anda akan mengalami masalah. 

Ambil contoh penyakit kanker. Kanker terjadi ketika sel-sel di tubuh kita mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali dari sel-sel yang telah rusak dan tidak mati. Isu politik yang memecah belah negara Malaysia saat ini adalah kanker yang menimpa bangsa.

“Warga negara pertama saya Malaysia, kedua India. Memang seharusnya begitu,” kata Prashanth. 

Di saat yang sama, Prashanth tidak melupakan darah India di dalam dirinya. Dia pun menelusuri asal-usulnya sebagai keturunan suku Thevar di Tamil Nadu, India.

"Masyarakat India bahkan lebih banyak lagi terbagi-bagi. Sampai hari ini, penting bagi banyak orang melihat apakah Anda seorang Brahmana atau Shudra, Tamil atau Punjabi, Sri Lanka atau orang ‘asli’ India,” ujarnya.

Identitas kewarganegaraan Prashanth sendiri cukup rumit. Ibunya adalah seorang China-Malaysia, tapi dibesarkan oleh keluarga India.

Seperti yang Prashant katakan, “‘Hardware’ ibu saya China tetapi ‘software’-nya India.”
Prashanth juga dengan bangga menceritakan bahwa istrinya adalah seorang Hindu Punjabi dari Bangsar -beberapa orang India-Malaysia masih melakukan pernikahan "antar ras".

"Daerah bagian mana yang menerima kami dengan baik? Tidak ada,” ujar Prashant. “Orang-orang India dulunya biasa bekerja sebagai admin dan sekretaris di kantor pelayanan sipil. Namun, saat ini, hal itu sudah sangat langka.”

"Negara ini menjadi kaya karena hasil karet yang di belakangnya banyak tenaga kerja India sebagai buruh perkebunan. Bahkan, setelah lebih dari enam puluh tahun pun, sebagian orang India masih tetap bekerja di sana," jelasnya.

Bercermin dari situasi suram yang diutarakan Prashanth, saya menyadari bahwa mungkin sikap gigihnya bahwa “warga negara pertamanya adalah Malaysia”, sangat diperlukan, mengingat banyaknya tantangan yang sedang dihadapi orang India-Malaysia.

Sepuluh tahun setelah aksi demo kelompok Kekuatan Aksi Hak Asasi Hindu (Hindu Rights Action Force/HINDRAF) pada 2007, ketika ribuan orang India-Malaysia turun ke jalan-jalan di Kuala Lumpur untuk memprotes ketidakadilan yang mereka alami, tidak jelas apakah sejak itu hidup mereka sudah lebih baik.

Untuk satu hal, ada bermacam tuduhan yang hangat diperdebatkan, yakni di antara 2.500 hingga 300.000 orang India-Malaysia masih belum memiliki kewarganegaraan karena berbagai faktor. Berapa pun jumlahnya, itu tidak penting.

Tapi terdapat satu saja orang Malaysia terjebak dalam keadaan sulit seperti itu maka hal tersebut tidak dapat diterima.

Sebagai negara yang akan melaksanakan Pemilu tahun depan, isu-isu ini akan muncul kembali. Tersebar di seluruh pelosok negeri, kelompok masyarakat India-Malaysia pastinya memiliki kekuatan suara dalam memenangkan seorang pemimpin di persaingan yang ketat tersebut.

Tetapi apakah sebagian besar dari mereka pasti akan membaik? Masyarakat telah melihat sendiri, banyak "penyelamat" yang hanya lewat begitu saja, seperti Kongres India Malaysia (MIC) yang merupakan bagian dari koalisi pemerintah, aktivis HINDRAF, dan sekarang koalisi oposisi Pakatan Harapan.

Setiap pemilihan pasti terdapat janji-janji manis yang mengarah ke mereka, tapi hanya sedikit yang menepatinya.

Dr Prashanth tetap bersikeras, bahwa “identitas Malaysia” lebih dari sekadar persoalan sara.
"Saya bekerja selama 9 jam dan melihat 100 pasien dalam sehari. Setelah itu, saya bekerja di rumah sakit pemerintah karena pada akhirnya, saya ingin melayani orang Malaysia. Saya tidak peduli ras, kepercayaan ataupun status mereka," tegasnya.

Jika semua orang dapat melepaskan diri dari politik ras, kata Prashanth, maka kita akan menjadi negara yang jauh lebih baik.

"Sekarang, saya memiliki anak perempuan dan saya sedang memikirkan masa depannya. Saya tidak ingin anak saya tumbuh sebagai orang India. Saya ingin anak saya tumbuh sebagai orang Malaysia,” kata Prashanth. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com