Salin Artikel

"Jika Kita Dapat Melepaskan Diri dari Politik Ras, Kita Akan Jadi yang Lebih Baik"

  • Jumlah masyarakat India-Malaysia mencapai 7,4 persen dari total penduduk Malaysia.
  • Ada perdebatan bahwa sebagian masyarakat masih merasa merugi dan terpinggirkan, termasuk merasa tidak memiliki kewarganegaraan.
  • Suara dari kelompok masyarakat India-Malaysia dianggap sangat menentukan perolehan suara partai oposisi, seperti yang terjadi pada Pemilu 2008, dan bukan tidak mungkin, situasi itu terulang pada Pemilu 2018.

SAYA sedang menyeruput secangkir teh di sebuah kafe berdekorasi eclectic dan bergaya hipster di Penang, Malaysia. Kafe yang dulunya sebuah ruko tua yang telah dipugar itu penuh sesak.

Wisatawan dari Singapura hingga China berbaur dengan anak muda urban Malaysia menikmati sepotong cheesecake. Di sekitarnya, gerombolan backpacker memadati gang-gang Georgetown, memenuhi bar-bar, dan berswafoto dengan latar belakang lukisan-lukisan dinding jalanan. 

Sejak 2008, Penang telah bertransformasi dari semula hanya sekadar tempat jajanan makanan lokal hingga menjadi magnet bagi turis global.

Negara bagian ini, untuk perubahan yang lebih baik atau lebih buruk, terlihat mengalami perkembangan yang pesat.

Tapi, Prashanth, seorang dokter berusia 33 tahun yang bekerja di Rumah Sakit Umum Penang memiliki sikap sendiri atas situasi perubahan itu.

"Perubahannya terlalu berlebihan,” ucapnya. “Betul, perekonomian kita sedang dipacu, tapi perubahan bergerak terlalu cepat tanpa diiringi konsultasi yang tepat.”

"Ketika Anda berolahraga, otot-otot Anda akan terbentuk. Itu bagus. Tapi kalau olah raganya berlebihan dan pembentukkan otot-ototnya terlalu cepat, tubuh Anda akan menderita. Selalu ada harga yang harus dibayar,” tuturnya lebih lanjut.

Dan ternyata benar, beberapa pekan setelah kami bertemu, Penang dikejutkan dengan bencana banjir terburuk sepanjang ingatan, yang menyebabkan 7 orang meninggal dan ribuan orang mengungsi.

Prashanth, anak laki-laki dari seorang pegawai admin dan pengacara ini tumbuh besar di Bayan Baru, Penang. Kakeknya, seorang peternak sapi yang bermigrasi dari India Selatan ke Malaysia.

Prashanth adalah tipe dokter yang dapat mendiagnosis dan selalu punya resep untuk setiap masalah yang Anda hadapi, termasuk masalah negara-negara bagian dan bahkan nasional.

"Di Penang ini, masalah yang sebenarnya malah tidak teratasi. Pertama, kurangnya perumahan-perumahan dengan harga terjangkau. Kedua, biaya hidup terlalu tinggi. Penang juga kekurangan transportasi umum," paparnya.

"Itu masalahnya. Bukan orangnya, tetapi sistemnya...Ketika kita menendang keluar para politisi ini atau politisi itu, kita hanya seperti mengobati gejalanya. Kita tidak pernah mengatasi akar masalah, penyakit sebenarnya," katanya.

Dan apa penyakitnya?

"Politik rasial,” jawabnya. “Kunci utama untuk mengatasi perbedaan antara kita adalah bahasa. Saya dapat berbahasa Inggris, Melayu, Hokkien, Mandarin, Tamil, dan saya bahkan dapat berbicara dengan orang Rusia saat saya kuliah dulu. Kita perlu melakukan upaya untuk dapat berkomunikasi satu sama lain," kata Prashanth.

"Sama saja dengan tubuh kita," lanjut Prashanth. Sel harus berkomunikasi satu sama lain agar berfungsi. Saat sinyal antar sel rusak, saat itulah tubuh Anda akan mengalami masalah. 

Ambil contoh penyakit kanker. Kanker terjadi ketika sel-sel di tubuh kita mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali dari sel-sel yang telah rusak dan tidak mati. Isu politik yang memecah belah negara Malaysia saat ini adalah kanker yang menimpa bangsa.

“Warga negara pertama saya Malaysia, kedua India. Memang seharusnya begitu,” kata Prashanth. 

Di saat yang sama, Prashanth tidak melupakan darah India di dalam dirinya. Dia pun menelusuri asal-usulnya sebagai keturunan suku Thevar di Tamil Nadu, India.

"Masyarakat India bahkan lebih banyak lagi terbagi-bagi. Sampai hari ini, penting bagi banyak orang melihat apakah Anda seorang Brahmana atau Shudra, Tamil atau Punjabi, Sri Lanka atau orang ‘asli’ India,” ujarnya.

Identitas kewarganegaraan Prashanth sendiri cukup rumit. Ibunya adalah seorang China-Malaysia, tapi dibesarkan oleh keluarga India.

Seperti yang Prashant katakan, “‘Hardware’ ibu saya China tetapi ‘software’-nya India.”
Prashanth juga dengan bangga menceritakan bahwa istrinya adalah seorang Hindu Punjabi dari Bangsar -beberapa orang India-Malaysia masih melakukan pernikahan "antar ras".

"Daerah bagian mana yang menerima kami dengan baik? Tidak ada,” ujar Prashant. “Orang-orang India dulunya biasa bekerja sebagai admin dan sekretaris di kantor pelayanan sipil. Namun, saat ini, hal itu sudah sangat langka.”

"Negara ini menjadi kaya karena hasil karet yang di belakangnya banyak tenaga kerja India sebagai buruh perkebunan. Bahkan, setelah lebih dari enam puluh tahun pun, sebagian orang India masih tetap bekerja di sana," jelasnya.

Bercermin dari situasi suram yang diutarakan Prashanth, saya menyadari bahwa mungkin sikap gigihnya bahwa “warga negara pertamanya adalah Malaysia”, sangat diperlukan, mengingat banyaknya tantangan yang sedang dihadapi orang India-Malaysia.

Untuk satu hal, ada bermacam tuduhan yang hangat diperdebatkan, yakni di antara 2.500 hingga 300.000 orang India-Malaysia masih belum memiliki kewarganegaraan karena berbagai faktor. Berapa pun jumlahnya, itu tidak penting.

Tapi terdapat satu saja orang Malaysia terjebak dalam keadaan sulit seperti itu maka hal tersebut tidak dapat diterima.

Sebagai negara yang akan melaksanakan Pemilu tahun depan, isu-isu ini akan muncul kembali. Tersebar di seluruh pelosok negeri, kelompok masyarakat India-Malaysia pastinya memiliki kekuatan suara dalam memenangkan seorang pemimpin di persaingan yang ketat tersebut.

Tetapi apakah sebagian besar dari mereka pasti akan membaik? Masyarakat telah melihat sendiri, banyak "penyelamat" yang hanya lewat begitu saja, seperti Kongres India Malaysia (MIC) yang merupakan bagian dari koalisi pemerintah, aktivis HINDRAF, dan sekarang koalisi oposisi Pakatan Harapan.

Setiap pemilihan pasti terdapat janji-janji manis yang mengarah ke mereka, tapi hanya sedikit yang menepatinya.

Dr Prashanth tetap bersikeras, bahwa “identitas Malaysia” lebih dari sekadar persoalan sara.
"Saya bekerja selama 9 jam dan melihat 100 pasien dalam sehari. Setelah itu, saya bekerja di rumah sakit pemerintah karena pada akhirnya, saya ingin melayani orang Malaysia. Saya tidak peduli ras, kepercayaan ataupun status mereka," tegasnya.

Jika semua orang dapat melepaskan diri dari politik ras, kata Prashanth, maka kita akan menjadi negara yang jauh lebih baik.

"Sekarang, saya memiliki anak perempuan dan saya sedang memikirkan masa depannya. Saya tidak ingin anak saya tumbuh sebagai orang India. Saya ingin anak saya tumbuh sebagai orang Malaysia,” kata Prashanth. 

https://internasional.kompas.com/read/2017/12/21/13324801/jika-kita-dapat-melepaskan-diri-dari-politik-ras-kita-akan-jadi-yang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke