Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Suku Amazon Melintasi Dua Dunia Berbeda

Kompas.com - 27/10/2017, 15:00 WIB
Veronika Yasinta

Penulis

Sumber AFP

KOMPAS.com - TERPAKU. Itulah yang dirasakan oleh suku pedalaman Amazon di Brasil saat memandang ke langit. "Pesawat terbang," kata seorang warga suku.

Di hutan hujan Amazon, nampak sebuah burung besi terbang di atas permukiman Waiapi di Manilha, yang memikat penduduk desa.

Mereka hanya mengenakan kain berwarna merah terang yang meliliti bagian bawah perut.

Kulit mereka juga dilumuri cat merah kehitaman yang terbuat dari biji urucum dan buah jenipapo.

"Apakah kalian berpikir pesawat itu datang untuk melihat kita?" tanya Aka'upotye Waiapi, anak tertua dari kepala suku, seperti dilansir dari AFP, Jumat (27/10/2017).

Setelah menghilangnya pesawat itu dari penglihatan mereka, perasaan tidak nyaman masih menyelimuti para penduduk.

Waiapi pernah melakukan kontak dengan pemerintah Brasil pada 1970-an.

Namun, kondisi mereka saat ini masih seperti nenek moyang mereka sebelum kedatangan orang Eropa yang tiba di Amerika Selatan, lima abad lalu.

Baca: Foto: Suku Amazon Ini Rayakan Menstruasi Pertama 

Mereka nampak hidup selaras di hutan hujan terbesar di planet ini. Namun, mereka tetap saja tak bisa menghindar dari dunia luar yang semakin dekat.

Melihat secara sepintas, kehidupan di Manilha dan permukiman mungil lainnya di desa, terlihat rumah-rumah bersudut yang terbuka tampak berasal dari zaman dulu.

Para pria berburu dan memancing. Perempuan terlihat memanen singkong, mereka tak mengenakan apapun untuk menutupi dadanya.

Perempuan juga menyalakan api dan melakukan berbagai macam hal lainnya.

Sementara, anak-anak muda mengoleskan pewarna alami yang dipercaya melindungi tubuh dan jiwa mereka.

Kalian tidak akan menemukan toko di sini. Uang? Tak juga diperlukan.

Tidak seperti suku pedalaman lainnya yang menerima kunjungan turis, Waiapi jarang menerima kunjungan orang luar, bahkan jurnalis.

Seorang anggota suku memiliki sebuah ponsel di saku cawatnya. Kendati tidak ada sinyal, dia kerap menggunakan ponsel itu untuk memotret.

Sementara, seorang lainnya memiliki mobil satu-satunya di Manilha, walaupun kehabisan bensin.

Dari bawah atap jerami, terdengar suara radio VHF bertenaga surya, untuk menghubungkan desa-desa Waiapi yang tersebar di hutan.

Ketika Manilha memberikan kesan seperti tersesat di jantung hutan hujan, semua orang tahu bahwa industrialisasi abad ke-21 tak bisa dihindari.

Padahal, hanya perlu dua jam berkendara ke arah selatan untuk menuju kota sepi, Pedra Branca.

Jawaruwa Waiapi, dewan kota Pedra Branca, bekerja di kantornya, di Amapa, Brasil, 12 Oktober 2017. Dia berasal dari suku pedalaman di hutan hujan Amazon. (AFP/Apu Gomes) Jawaruwa Waiapi, dewan kota Pedra Branca, bekerja di kantornya, di Amapa, Brasil, 12 Oktober 2017. Dia berasal dari suku pedalaman di hutan hujan Amazon. (AFP/Apu Gomes)

Penjelajah waktu

Mayoritas 1.200 penduduk Waiapi tidak pernah mengunjungi mengunjungi Pedra Branca.

Tapi berbeda dengan Jawaruw Waiapi. Dia melakukan perjalanan ke sana setiap minggu, seakah beralih di antara dua dunia yang berbeda seperti seorang penjelajah waktu.

Pria berusia 31 tahun itu, tinggal di bungkit yang curam di hutan lebat. Dia cukup berprestasi karena ditunjuk sebagai dewan kota pada tahun lalu.

Dia merupakan orang pertama dari sukunya yang memenangkan kursi jabatan. Hal itu menjadi contoh langka, seorang Waiapi terjun ke wilayah yang mereka sebut sebagai wilayah "kulit putih".

Saat berada di Pedra Branca, Jawaruwa Waiapi mengenakan celana jeans dan kemeja rapi, kemudian duduk di belakang meja.

"Anda harus mengikuti peraturan kota. Di sini, Anda butuh uang untuk hidup, kamu perlu membayar untuk mendapatkan apapun," katanya.

"Saat kembali ke desa, Anda tidak perlu membayar untuk apapun, air gratis, kayu bakar juga gratis," tambahnya.

Baca: Bukti Baru Ungkap Masa Lalu Hutan Amazon

Kembali ke Waiapi, Jawaruwa berganti pakaian. Cawat tradisionalnya dia kenakan, istrinya yang bernama Monin juga mengenankan pakaian serupa.

Jawaruwa Waiapi mengatakan dia mencalonkan diri debagai dewan kota karena tidak ada perwakilan orang asli di sana, sama seperti di Kongres nasional.

"Siapa lagi yang akan memperjuangkan rakyat kami?", ujarnya.

Marina Sa, seorang pemilik restoran di Pedra Branca, yang juga membantu persatuan anggota dewan mengatakan kehadiran Jawaruwa Waiapi sama seperti novel yang menceritakan penduduk asli Brasil.

"Hanya ada sedikit orang yang pergi (ke wilayah Waiapi). Itu dunia yang terpisah," katanya.

Kamon Waiapi mengenakan celanaya sebelum tiba di kota Pedra Branca, Amapa, Brasil, pada 15 Oktober 2017. (AFP/Apu Gomes) Kamon Waiapi mengenakan celanaya sebelum tiba di kota Pedra Branca, Amapa, Brasil, pada 15 Oktober 2017. (AFP/Apu Gomes)

Di dalam Waiapi

Saat Jawaruwa Waiapi kembali ke desa, suara burung-burung dan matahari menghiasi rutinitas hariannya.

Tak seperti ayahnya, anak-anak Jawaruwa enggan pergi ke kota. "Anak-anak tidak suka di kota," kata istrinya, Monin.

"Mereka harus memakai pakaian dan mandi (ketimbang berenang di sungai)," tambahnya.

Tapi ketika melihat anak laki-lakinya yang berusia empat tahun, Jawaruwa menunjukkan kekhawatiran.

Banyak pemuda dikirim untuk belajar dan biasanya mereka kembali ke desa, tapi bagaimana kalau tidak?

"Jika dia pergi ke luar desa dan akhirnya menyukai suasana perkotaan, dia tidak akan pernah lagi menyukai budaya orang Waiapi," ujarnya.

Baca: Menghilang 5 Tahun, Pria Kanada Ditemukan di Pedalaman Amazon

Pernah seorang anggota suku yang pergi selama 20 tahun dan kembali. Dia membutuhkan waktu empat tahun untuk menjadi seorang Waiapi yang utuh.

"Ada banyak kejahatan di dunia ini," kata seorang penduduk berusia 57 tahun, Calbi Waiapi.

Tapi, bagi seorang lainnya, Kamon Waiapi, yang juga teratur pergi ke Pedra Branca sebagai asisten Jawaruwa, kunci bertahan hidup adalah selalu mengingat siapa diri kita sebenarnya.

Bergabung dengan rombongan kantor berita AFP ke kota, Kamon keluar dari mobil di pinggiran kota dan melepaskan cawat merahnya.

Dia berganti pakaian, mengenakan celana jeans, sepati kulit, dan kemeja polo.

"Sekarang aku orang kulit putih," katanya.

Lantas, apakah pakaian itu mengurangi rasa ke-Waiapi-an?

"Tidak," jawabnya tanpa ragu.

"Di dalam hati, saya tidak pernah berubah," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com