Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Eva Christiane, Perempuan Jerman Perawat Wayang Kulit

Kompas.com - 25/04/2017, 14:59 WIB

BERN, KOMPAS.com - Sebuah kabar gembira datang dari Swiss, khususnya dalam dunia wayang kulit

Kini, Hanoman, Gatotkaca,  Arjuna hingga Petruk dan  Semar, bakal tidak "kesepian" lagi di Benua Biru itu.

Adalah Eva Christiane von Reumont,  perempuan kelahiran Nordsee, Jerman Utara, yang bersedia menemani dan merawat ribuan wayang kulit yang terserak di puluhan museum di Eropa.

"Wayang kulit itu sangat memesona,“ tuturnya ketika ditemui di salah satu kafe di Bern, Swiss belum lama ini.

Eva bukan sekadar pemuja wayang kulit biasa, yang hanya mengumpulkan ribuan wayang kulit di rumahnya.

Perempuan ini bahkan menulis wayang kulit secara ilmiah di Hochschule der Künste Bern, semacam sekolah tinggi seni, Swiss.  

Sebuah tesis berjudul Applying Western Conservation Restoration Ethics onto Javanese Wayang Kulit (Shadow Play) Puppet, mengantarkannya menjadi sahabat Hanoman, Gatotkaca, Arjuna, Petruk, Semar dan banyak lagi tokoh pewayangan.

Dengan ijazah ini, Eva mampu merawat wayang kulit yang usianya mencapai ratusan tahun dan  tersebar di puluhan museum di ranah Eropa, secara profesional.

Semua bermula di Berlin 2012, khususnya museum etnologi  di ibu kota Jerman itu.

"Di situ saya menemukan figur wayang kulit Bali, Gadjahmina," kata Eva mengenang kali pertama ketertarikannya kepada wayang kulit memendar.

" Saya memutuskan, jika menyelesaikan master saya, topiknya ya tentang wayang kulit,“ tambah dia.

Janji itu menjadi kenyataan, pada akhirnya. Bukan di Berlin, tapi melalui Hochschule der Künste Bern, sekolah tinggi kesenian Bern.

Di ibu kota Swiss inilah, Eva memulai konsentrasinya, khususnya bagaimana merestorasi Hanoman dan kawan kawannya kelak.

Meskipun bermarkas di Bern, Eva memutuskan untuk mempelajari wayang kulit lainnya di seluruh Eropa.

Dia, antara lain, mengunjungi berbagai museum Eropa yang memiliki koleksi wayang kulit.  Sebelas  museum di Jerman, antara lain di Bremen, Frankfurt, Dresden, Köln hingga Munich dikunjunginya.

Demikian juga museum-museum di Paris, Antwerp, Vienna, Kopenhagen, Rotterdam, Amsterdam hingga Ceko juga disambanginya. 

"Usia wayang-wayang itu, antara puluhan hingga ratusan tahun," katanya.

Ada yang hanya tersimpan di dalam kardus, peti besi, atau dipajang begitu saja.

"Kalau penyimpanan seperti di Indonesia, dengan peti kayu, memang tak ada dilakukan di Eropa,“ papar Eva.

Wayang-wayang itu memang tersimpan rapi, atau terpajang harmonis di mata orang awam Eropa. Namun, bagi Eva, penyimpanan itu tidak sesuai aturan dunia wayang kulit.

"Keine Ordnung, tak ada sistematikanya, asal disimpan begitu saja,“ katanya.

Eva ingin, wayang-wayang kulit itu, tersimpan rapi, teratur dan sesuai sistematika dunia perwayangan. Misalnya, berjajar dari urutan kecil hingga yang besar, juga warna dan sebagainya.

Di Indonesia, imbuh Eva, penataan wayang kulit itu berurutan, dari besar hingga ke kecil. "Figur perempuan juga bersama perempuan. Di sini, tidak ada kronologis itu,“ katamya.

Kekhawatiran lainnya, adalah ringkihnya kondisi wayang-wayang kulit itu.

"Bayangkan, usianya sudah ratusan tahun. Kondisi catnya, kulitnya, tentu perlu penanganan yang benar,“ imbuhnya.

Di museum-museum Eropa itu, memang terdapat banyak ahli restorasi. Namun, Eva tidak yakin mereka memiliki tenaga khusus untuk merawat wayang kulit.

Eva sempat merestorasi sebuah wayang kulit Hanoman, yang usianya sudah ratusan tahun. "Catnya sering rontok, harus hati hati sekali," katanya.

Penjelajahan Eva tak hanya berhenti di Eropa. Dia sempat mengunjungi museum di Taipei, Taiwan. Juga, pada akhirnya, mendarat di Yogjakarta dan Surakarta.

"Melihat bagaimana wayang di tanah asalnya, dimainkan, rasanya menakjubkan," kenangnya.

Bagaimana seorang dalang, misalnya, memainkan peran sentral dalam sebuah pagelaran, bagi Eva, adalah sebuah kisah yang menancap di benaknya.

"Bisa bersuara ini dan itu, bisa menjelaskan filosofi hidup, dan lain lain dan sebagainya yang cukup kompleks, seorang dalang harus bisa, semua itu menakjubkan," katanya.

Saat ditanyaapakah Eva akan belajar menjadi sinden di masa depan, perempuan Jerman itu tidak menampiknya.

"Saya tidak akan bilang nein (tidak), tapi menjadi seorang sinden tentu sangat sulit,“ akunya.

Baginya, kesatuan yang dibangun antara dalang, sinden, juga penabuh gamelan, dalam pertunjukan wayang kulit, adalah keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Sosok Eva, perempuan Jerman yang memiliki ketertarikan besar terhadap kesenian wayang kulit disambut baik KBRI Bern.

"Selama ini banyak warga asing yang tertarik mempelajari budaya Indonesia, tapi apa yang dilakukan Eva cukup istimewa,“ tutur Sasanti Nordewati, sekretaris pertama KBRI Bern.

Selama ini, imbuh Sasanti, Indonesia lebih terpromosikan melalui keindahan bentang alam dan cita rasa kulinernya.

"Kalau budaya, apalagi wayang kulit,  masih jarang,“ tutur Sasanti .

Apa yang dilakukan  Eva, masih kata Sasanti, tak hanya mempromosikan keberadaan wayang kulit Indonesia di Eropa.

"Tapi juga membuka jalan kerja sama dua negara, Swiss dan Indonesia,“ imbuh Sasanti.

Baru baru ini, kunjungan kerja kalangan parlemen Indonesia sempat bertukarpikiran  tentang wayang kulit dengan Eva. (Krisna Diantha)

 

 


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com