Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Perjuangan Pasangan Pengantin Beda Agama di Mesir

Kompas.com - 13/04/2017, 18:41 WIB

Topik soal perkawinan beda agama telah diangkat berkali-kali setiap dia berbincang dengan kerabat dan tetangganya sekaligus mengundang mereka untuk datang ke pernikahannya.

Ini adalah tradisi kelompok etnis Nubia. Undangan harus disampaikan secara verbal. Jika seseorang menerima undangan pernikahan secara tertulis, dia akan merasa terhina dan tidak akan datang.

"Berbincang dengan tetangga-tetangga, menyanyi, makan, dan menari. Bagi mempelai pria, itu lebih penting daripada bagian keagamaan dari upacara pernikahan," cetus Akram, sembari menawari jabana, kopi yang dicampur kayu manis dan kapulaga.

Beberapa cangkir kopi kemudian, teman-teman Akram menarik dia menuju masjid untuk mengikuti akad nikah. Selagi melewati kebun mangga, Akram menunjuk ke sebuah gereja yang rusak.

"Beberapa bangunan Kristen di sini diserang orang-orang luar. Namun kami bersatu dan mengusir mereka," ujarnya.

Di suatu sudut dekat masjid, imam Mohamed Sobhy berjalan. Dia adalah seorang cendekiawan Muslim yang dengan bangga memperlihatkan buku-buku koleksinya soal ajaran Islam, Kristen, dan beberapa agama lainnya.

"Kekristenan ada di sini selama lebih dari 800 tahun. Bagi saya, pernikahan beda agama bukan hal besar. Saya ingin orang-orang menrima sesamanya. Umat Muslim dan Kristen, kami bisa hidup secara damai."

Sobhy lalu menepuk pundak Akram.

"Di komunitas kami, perceraian bukan hal biasa. Dan menikahi lebih dari satu perempuan tidak diperbolehkan. Bagi para pemuda, kekristenan punya pengaruh sangat positif!" tambah Sobhy.

Sementara di rumah Sally, mempelai perempuan itu sibuk berdandan didampingi teman-temannya.

Rosario menggantung di lehernya dan salib terpasang di atas pintu semua ruangan di rumah tersebut.

"Yang saya lakukan adalah datang, menari, bersalam-salaman, dan kami pergi," ujar Sally.

"Saya tidak peduli pada akad nikah. Itu acara untuk orang-orang lain, tapi bukan kami, kedua mempelai. Itu bukan prioritas saya."

Bagi Sally, bisa menikah dengan seseorang yang beda agama memerlukan waktu bertahun-tahun berdiskusi dengan calon suami dan berdebat dengan keluarganya.

"Saya selalu mencintainya, namun tadinya saya pikir kami tidak diperbolehkan menikah. Ayah saya berkata tidak dari jauh hari. Namun, sekarang setelah imam dan pastor bersepakat, tidak buruk baginya."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com