Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Perang, Perdamaian, dan Kemakmuran: Tiga Generasi Dinasti Baja Bac Ninh

Kompas.com - 23/02/2017, 14:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Dapat bertahan hidup sudah merupakan suatu keberhasilan.

Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah – suatu hal yang jarang terjadi pada saat itu - dia segera terjun dalam bisnis keluarga.

"Saya tidak pernah memiliki mimpi yang besar. Saya terbiasa menjalani hidup yang keras. Semua yang saya inginkan hanyalah menyediakan makanan di atas meja."

Elektrifikasi terjadi pada 1991 dan mengubah segala sesuatu, tak terkecuali di Da Hoi.

Meski demikian, persaingan dengan Taiwan dan China sangat sulit bagi pemain bisnis kecil di Vietnam seperti bisnis milik keluarga Tran. Produk-produk Taiwan dan Cina memiliki kualitas baik tetapi harganya tinggi - dan inilah dimana para kompetitor di Asia Tenggara berusaha untuk mengalahkan mereka.

Sebaliknya, anak perempuan Loi, Yeen - yang berusia delapan belas tahun dan kuliah Bahasa Spanyol di Universitas Hanoi – mempunyai semangat yang tinggi dan tekad yang kuat, tidak seperti ibunya yang cenderung waspada.

Berbicara di sebuah kedai kopi terkenal di luar kampusnya, Yeen memperlihatkan energinya yang meluap-luap. Dia juga memiliki senyum yang lebar yang mampu menyetrum jantung hingga berhenti berdetak.

"Saya adalah yang pertama di keluarga yang bisa kuliah di universitas. Saya merasa sangat istimewa dan saya menerima banyak dukungan dari orang tua saya. Ibu saya ingin saya pulang setiap akhir pekan tapi saya punya mimpi lain. Saya ingin menyelesaikan kuliah saya dan jalan-jalan ke daerah lain. Saya memiliki kesempatan untuk menghabiskan sembilan bulan di Valladoid atau Santiago de Chile."

"Tetapi saya sangat suka pergi ke bengkel dan melihat ibu saya mengelola segala sesuatu -. berbicara dengan klien dan stafnya. Dan kemudian melihat bagaimana proses sebuah logam dibentuk dan diolah menjadi berbagai bentuk lain. Pemandangan terbaik dari itu semua adalah ketika mereka menuangkan air ke besi panas dan kemudian meletup!"

Ketika saya bertanya tentang apa yang dia rasakan mengenai semua penderitaan yang ibu dan kakeknya telah lalui, dia menjawab, "Kami sungguh dapat merasakan kepedihan yang dialami generasi tersebut. Dibandingkan dengan kami, mereka melewati hidup yang jauh lebih keras."

"Namun saya berpikir sekarang adalah waktu yang sangat baik untuk tinggal di Vietnam – jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Saya bisa mengejar mimpi saya dan membuat diri saya menjadi lebih baik."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com