Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Sufyan Abd
Dosen

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

Komunikasi Publik Ugal-Ugalan

Kompas.com - 06/02/2017, 17:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Apakah polah ugal-ugalan ada dalam ilmu komunikasi, khususnya yang terkait ranah publik? Jika ada, apakah yang membuat hal itu bisa terjadi serta apa solusinya? Benarkan efek komunikasi publik seperti bullet theory --tajam dan berdampak ke audiensnya seketika?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, agar lebih menarik daripada sekedar paparan teori, bisa dikupas dengan menyodorkan sejumlah contoh mutakhir atas perilaku komunikasi publik Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald John Trump. 

Pertama, ketika sudah dipastikan menjadi pemenang pemilu, kita menjadi saksi bersama komunikasi publiknya, terutama melalui cuitannya di @realDonaldTrump, yang masih berpijak kaki sendiri sebagai calon Partai Republik. Bukan bapak bangsa.

Alih-alih mempersatukan warga sebagai komunikan yang baru melewati kampanye terpanas dan segresial sepanjang sejarah, Donald Trump menjelma menjadi pemenang pemilu yang malah terus berkampanye menangkis publik yang kritis.

Tak ketinggalan, media massa sebagai pilar negara ke-empat (fourth estate) terus menerus diserang, bahkan sempat ada labelling pernyataan menyakitkan sebagai entitas paling tak jujur terkait hasil polling media yang tiada memenangkan dirinya.

Padahal, dalam praktik media massa profesional dimanapun --apalagi di Amerika Serikat sebagai salah satu barometer global selain Jerman-- pemuatan hasil polling adalah bentuk komunikasi massa dari narasumber yang dicuplik.

Ini kemudian seolah menggenapkan antipati publik pada pola komunikasi publiknya yang sejak menjadi calon presiden dan kampanye, umumnya tendensius, melecehkan perempuan, rasis, dan penuh ujaran kebencian.

Jadi, manakala dia tahu jadi pemenang yang sebetulnya tak telak dan warganya masih terpecah belah, sikap dan pikirannya tak cepat ingin menjadi komunikator pengayom bangsa. Tak bergegas menyatukan kembali pelbagai beda dengan infomasi utuh yang simpatik.   

Ini diperburuk dengan memusuhi fourth estate di negeri tersebut, sehingga proses pemulihan citra kepada publik melalui media massa tak bisa segera dilakukan. Sebagai pembentuk opini, media otomatis makin menjauhkan citranya sebagai ayah bagi semua.

Kedua, belum genap sebulan menjabat, Donald Trump mengkomunikasikan kebijakan pembatasan warga negara asing masuk negara tersebut yang kemudian kita kenal dengan tagar MoslemBan dan memuncaki banyak persepsi dari netizen.

Hal ini patut dikritisi dengan sangat, karena saat menginformasikan, Trump sebagai komunikator tak mampu menyatakan gagasan dan argumen dengan logis, sehingga respon komunikasi yang terjadi adalah pembuktian sentimen rasis dari kampanye-nya.

Trump sekedar bunyi kala itu, karena basis data dari kebijakannya tak mampu diperlihatkan. Jangankan terhadap tujuh negara yang dilarang masuk (Somalia, Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, dan Yaman) apalagi ummat Islam dunia, pada warga Amerika Serikat pun, kebijakan tak mampu diartikulasikan secara mengalir.

Kompas edisi 1 Februari mencatat, bersumber lembaga peneliti New America, bahwa 12 serangan mematikan setelah serangan Black September (11 September 2001), ternyata tak seorang pun pelakunya berasal dari tujuh negara yang dilarang.

Bahkan, ini yang mencengangkan, ke-12 serangan tersebut dilakukan semuanya oleh warga Amerika Serikat dan atau penduduk legal di negeri Paman Sam itu. 7 dari 12 serangan teroris malah diketahui bukan saja warga, tapi lahir di Amerika Serikat.

Analis keamanan nasional CNN, Peter Bergen menegaskan, 12 serangan mematikan setelah Black September ditangkap 400 pelaku individu dengan 80% diantara mereka adalah warga resmi Amerika Serikat. Trump tak terus terang soal ini saat mengumumkan MoslemBan.     

Ketika publik gusar atas intranparansi komunikasi presidennya, gelombang demo ada dimana-mana, tetiba Trump juga memecat Jaksa Agung Sally Yates yang dianggap berkhianat tak mau menjalankan kebijakan pembatasan tersebut (AFP, 30 Januari 2017).

Yates dalam kapasitas upward communication-nya, terang-terangan mempertanyakan dasar kebijakan pelarangan yang dianggapnya tidak sesuai konstitusi serta tak konsisten dengan kewajiban lembaga untuk berdiri di atas kebenaran.   

Senada, dalam bentuk respon konten komunikasi dari hierarkis di bawah kepada pucuk pimpinan tersebut, Senator Pat Toomey mengatakan, keputusan tersebut ditentangnya karena cacat hukum, terlalu luas, dan terutama minim penjelasan.

Yang luar biasa, baru terjadi sepanjang sejarah, presiden dua periode sebelumnya, Barrack Obama ikut mengkritisinya dengan menilai kebijakan tersebut, "membuat nilai-nilai Amerika berada di ujung tanduk." Dalam delapan tahun Obama berkuasa, tak sekalipun media massa mencatat Presiden George W. Bush Jr, mengkritik kebijakan presiden berdarah Afro Amerika itu.

Jadi, situasi diperkeruh dengan pemecatan Jaksa Agung, sehingga seperti serangan kepada media dalam poin pertama, Trump sangat jelas tidak berusaha memengaruhi sikap publik melalui komunikasi yang baik. Namun mementahkannya dengan berkomunikasi ugal-ugalan!  

Jangan Serampangan

Ketidaktertiban komunikasi publik ini akhirnya bahkan menular destruktif, seperti terjadi dalam serangan ke mesjid Pusat Kebudayaan Islam di Quebec, Kanada, Minggu (29/12017) yang menewaskan enam orang, delapan luka-luka, dan lima kritis.

Saat ditangkap, sang pelaku Alexandre Bissonete (27 tahun) yang pendiam mengaku sebagai pendukung Presiden Donald Trump dan politikus sayap kanan Prancis, Marine Le Pen --dua figur yang dikenal kerap berkomunikasi intoleran.  

Akademisi Universitas Laval, Vincent Boissoneault, mengatakan, pelaku boleh jadi bukan orang rasis. Namun perilaku agresif itu muncul setelah terpikat paparan media berisikan Trump dan La Pen yang mengusung konsep "gerakan nasionalis garis perbatasan."

Makin sahih-lah teori tahun 1950-an dari Wilbur Schram, bahwa pesan (Donald Trump) yang tersampaikan melalui media massa sekalipun satu arah, namun berdampak kuat karena jelas berhasil mengubah pria pendiam menjadi pembunuh berdarah dingin.   

Dalam contoh lain di negeri kita sendiri, hingar bingar berkepanjangan sejak Oktober lalu juga banyak disumbangkan komunikator ugal-ugalan. Betapa mudah berbicara tak cermat dengan konten irelevan di ruang publik, enggan mengkoreksi saat konten direspon komunikan, tapi akhirnya memohon maaf ketika kerusakan nyata terjadi (the damage has been done). Begitu terus.

Maka itu, ada dua patokan terutama bagi pejabat publik saat melakukan komunikasi pemerintahan di ruang publik. Pertama, sebagaimana hipotesa Frederickson H. George (Komunikasi Pemerintahan: 2016), berkomunikasilah dengan bertumpu pada pilar komunikasi pemerintahan yakni partisipatif, akuntabilitas, ketanggapan, dan transparansi.

Dari empat pilar itu, paling penting adalah partisipatif yaitu publik dirangsang memberi respon komunikasi sehingga kontrol sosial berjalan sendirinya serta akuntabilitas memiliki titik tekan semua komunikasi berdasar data dan informasi yang penuh tanggungjawab.

Apa yang dilakukan Trump jelas tak membuka ruang kontrol sosial karena selalu membela diri dan menyerang pada rakyatnya yang kritis, sekaligus berbicara kebijakan pada dasar data yang lemah, kental subyektivitas, dan tak berdasar.

Dari sisi transparansi, ini menuntut pejabat publik harus memberikan informasi jujur, benar, dan adil. Atau jika disesuaikan dengan konteks Indonesia, jangan bertutur konten yang tak dikuasai dengan benar sehingga tercipta rasa inekualitas sosial.  

Betul memang Trump tidak lakukan tiga pilar tadi, namun termasuk pejabat publik yang tanggap. Dengan kata lain, tuntutan mendorong seluruh pilar dilakukan bersamaan dan sekaligus konstan demi terciptanya komprehensivitas komunikasi publik.

Dua, menghayati betul perubahan tatanan dunia, sehingga komunikasi publik harus berperan ganda (sebagai sender sekaligus receiver). Pemerintah berperan sebagai sender ketika menyampaikan kebijakan dan masyarakat menjadi receiver pesan komunikasi. Namun di lain waktu, ini yang sering luput, harus "ikhlas" pula menjadi receiver ketika masyarakat memberikan umpan balik atas diseminasi kebijakan tersebut.

Ketika Trump malah menyerang media bahkan memecat Jaksa Agung, padahal gelombang demo terjadi bahkan menginspirasi pemuda menjadi pembunuh, di sanalah komunikasi sepihak serampangan terjadi karena Trump hanya mau menjadi sender! Apa umpan balik yang kritis dan konstruktif tak mau didengar, bahkan makin pongah bersikap. Stop komunikasi ugal-ugalan!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com