Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Ceritalah USA

Kompas.com - 03/11/2016, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Kalau tidak ada peristiwa Brexit (dan kemudian kemunculan Donald Trump), saya tidak akan terbang ke Amerika Serikat.

Pagi hari, pada 23 Juni 2016, saya mendarat di London, dan berada di antara jutaan orang yang sedang tercengang oleh serangan balik para pemilih Brexit terhadap isu perbatasan, perdagangan terbuka dan bebas, serta serangan terhadap kaum elit kosmopolitan.

Sementara itu, melalui "Ceritalah USA", saya ingin mengeksplorasi apa yang sedang dipertaruhkan dari pemilu presiden di Amerika Serikat bagi dunia.

Melalui kolom ini, saya ingin membantu para pembaca baik yang berada di Kota Quezon, Danang, Kuching, atau pun Surabaya, untuk memahami apakah persaingan yang buruk antara internationalist-cum-technocrat Hillary Clinton dan America First Trump bisa berarti bagi wilayah kita.

Kita perlu tahu apakah Amerika masih sebagai negara superpower atau mungkin namanya tak sebesar dulu lagi? Setelah menjadi "penguasa" Asia Pasifik sejak Perang Dunia II, apakah pengaruhnya masih akan terus berlanjut?

Atau mungkin keperkasaan Amerika malah menyusut dalam menghadapi persaingan dengan China, dan membiarkan Asia Tenggara menjadi kawasan di bawah pengaruh China seperti halnya Kepulauan Karibia bagi Amerika?

Apakah "Poros Asia"-nya Barrack Obama telah mengalami reposisi, atau Trans Pacific Partnership yang hampir dipastikan gagal telah menandai runtuhnya ambisi itu?

Sebagaimana ciri khas "Ceritalah", saya akan turun langsung bertemu dengan warga Amerika, mendengarkan suara-suara mereka, terutama dari diaspora Asia Tenggara.

Apakah mereka, para diaspora ini diperkirakan ada 4 juta warga Filipina, dan 1,8 juta warga Vietnam-Amerika-- masih optimistis dengan sebait lirik "Land of the Free" dan "Home of The Brave" dalam lagu kebangsaan Amerika?

Apa yang warga Filipina-Amerika pikirkan tentang tekad Presiden Duterte memisahkan diri dari Amerika?

Saya juga akan menjelajahi beberapa negara bagian, termasuk pusat industri teknologi kelas dunia Silicon Valley, daerah warga Latin di Texas Selatan, daerah perairan di Arkansas, Michigan, Baltimore, Washington DC, dan akhirnya kota dunia, New York New York (lebih enak kalau menyebutnya dua kali).

KARIM RASLAN Ceritalah USA akan terbit setiap hari mulai Kamis (3/11/2016).
Tapi seperti yang saya katakan, saya ingin menggali sedikit lebih dalam dari singgah di Amerika.

Saya mendarat di London pada hari dilaksanakannya pemungutan suara "Brexit" untuk menjenguk ibu saya, 83 tahun, yang baru jatuh dan mengalami patah kaki.

Sopir taksi yang mengantar saya adalah seorang kelahiran Bangladesh. Dia bercerita, "Saya hidup dari para pengunujng yang datang. Gila kalau saya memilih Brexit. Di sana, banyak orang tidak senang karena merasa terlalu banyak imigran di sekitarnya. Soal ini tidak betul-betul dilaporkan. Seperti tadi pagi, ketika saya mengantre untuk memilih, saya dikelilingi oleh mereka yang dengan tegas tidak senang dengan imigran." 

Anehnya, supir taksi ini sama sekali tidak menganggap dirinya imigran. Ketika saya menjenguk ibu saya di rumah sakit di daerah Suffolk, yang mayoritas suara sangat setuju dengan Brexit, saya ingat ibu saya menggelengkan kepalanya ketika saya memberinya salinan Financial Times tentang yang mendukung keras Brexit.

"Jangan tinggalkan itu di sini. Itu akan jadi masalah buat saya. Mereka tidak suka saya!"

Bertemu dengan teman-teman lama semasa kuliah di London, saya pun terpana dengan keheranan mereka. Kekecewaan (bagi mereka yang bukan kelahiran Inggris adalah kecemasan) tampak begitu jelas.

Percakapan saya selama perjalanan pulang kampung itu pun terus menghantui saya. Bahkan hingga sekarang.

Bagaimana mungkin begitu banyak lembaga survei, wartawan, dan pengamat tidak memiliki informasi yang tepat? Bagaimana mereka melewatkan gelombang kemarahan itu? Bagaimana The Brexiters memenangkan pemungutan suara? Siapa yang melepaskan ide xenophobia dan bagaimana itu dikendalikan?

Tumbuh dewasa dengan bacaan-bacaan tentang berbagai aliran politik moderat dan kebebasan dari Alfred Bloom dan Francis Fukuyama, membuat saya lebih terbuka dan menerima demokrasi liberal ala Barat sebagaimana adanya.

"Barat" itu selalu bergerak maju tanpa dibatasi oleh ras, gender, dan budaya. Ketika duduk di rumah ibu saya di Suffolk, saya pun mulai berpikir untuk lebih menerima dan menahan diri dari nilai-nilai liberalisme.

Apakah dengan terjadinya Brexit, lalu kemudian muncul Trump dengan retorika rasisnya menunjukkan telah terjadinya sesuatu yang buruk di dunia Barat? Apakah mendorong perdagangan bebas dan globalisasi akan memusnahkan pekerjaan-pekerjaan tradisional, dan bahkan meninggalkan bekas luka, kemiskinan dan kebencian bagi masyarakat kelas menengah?

Apakah pemilihan Presiden Afro-Amerika pertama (Obama) dan Wali Kota Muslim London (Sadiq Khan) yang sepertinya puncak demokrasi liberal, akan digantikan oleh patriotisme buta masyarakat yang ingin merebut kembali kekuasaan?

Apakah mimpi Amerika untuk melakukan perubahan justru menjadi mimpi buruk bagi Amerika sendiri?

Apakah kita melihat lonjakan populasi pribumi dibanding tahun 1930-an yang ketika itu dunia sedang menganut paham totaliter dan dalam kondisi perang?

Kesulitan dalam berdemokrasi tidaklah bisa menjadi suatu pengecualian. China yang sedang tumbuh lebih dinamis dan sejahtera, sistem "tidak demokratis" yang dianutnya justru memperoleh kredibitas dan pengakuan.

Hasil pemilihan Presiden Amerika pada 8 November nanti tentu akan memberi dampak besar bagi Asia Tenggara dan politik dunia. Dua kandidat menawarkan pandangan yang berbeda tentang Amerika dan perannya bagi dunia.

Apakah Amerika akan menarik diri dari soal-soal pembelaan demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, transparansi, dan akuntabilitas yang dampaknya akan langsung dan signifikan?

Begitulah "Ceritalah USA" akan bercerita tentang pemilihan presiden Amerika dan dampaknya terhadap Asia Tenggara. Ini benar-benar tentang apakah cita-cita dan prinsip-prinsip demokrasi—seperti yang ditanamkan Jefferson dan Lincoln—dapat berlangsung terus.

*Artikel CERITALAH USA--akan terbit setiap hari pukul 08.00 WIB mulai Kamis (3/11/2016)-- merupakan rangkaian dari CERITALAH ASEAN, yang ditulis dari perjalanan Karim Raslan selama 10 hari ke AS dalam rangka mengamati pemilu di sana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com