Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duterte Berpaling ke China, Pertaruhan Terbesar untuk Filipina

Kompas.com - 14/10/2016, 12:08 WIB

MANILA, KOMPAS.com - Sejak Filipina merdeka hingga masa pemerintahan Benigno Aquino yang belum lama berakhir, negeri itu selalu berkawan dekat dengan Amerika Serikat.

Namun, pemerintahan baru yang dikendalikan Presiden Rodrigo Duterte terlihat mulai mencoba berpaling dari sekutu lamanya itu.

Berbagai sinyal dilontarkan Duterte untuk mengakhiri keterkaitan Filipina dengan AS mulai dari menghina Presiden Barack Obama hingga menghentikan patroli bersama di Laut China Selatan.

Puncaknya, Duterte mengungkapkan rencananya mengunjungi China sebelum melanjutkan perjalanan dinasnya ke Jepang akhir bulan ini.

Apa alasan Duterte memalingkan pandangannya ke China? Kemungkinan besar Duterte mengincar investasi miliaran dolar dari China sekaligus rasa hormat dari negeri itu.

Presiden China Xi Jinping dipastikan bakal menerima kehadiran pemimpin kontroversial itu dengan hangat, terutama setelah Duterte mengancam akan mengakhiri aliansi panjang dengan AS.

Jika aliansi Filipina dan AS berakhir maka China akan mendapat keuntungan besar dalam upayanya mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang strategis itu.

Para analis meyakini, langkah Duterte mendekati China merupakan gaya pemerintahannya yang sangat pragmatis, menyusul berbagai komentar Duterte terkait melemahkan kekuatan ekonomi dan militer AS.

"Duterte adalah sosok yang mengutamakan hasil, dia penganut Machiavelli sejati," kata Profesor Clarita Carlos dari Universitas Filipina.

"Pria ini paham jika dia bisa mendapatkan pasar untuk pisang dan nanas Filipina serta menciptakan lapangan kerja maka dia akan datangi mereka, tak peduli China, Rusia atau Mali, asal menguntungkan," tambah Clarita.

Dalam kunjungannya, Duterte akan membawa delegasi berisi ratusan pengusaha, termasuk para taipan paling kaya di Filipina, dalam upaya untuk mengkapitalisasi hubungan dengan China yang mulai menghangat.

Selain itu, Duterte juga berusaha untuk menenangkan Beijing terkait sengketa dengan Filipina di Laut China Selatan.

Kemarahan China

Hal berbeda terjadi di masa pemerintahan Beningno Aquino yang justru memicu kemarahan China dengan menantang negeri itu di berbagai front.

Pemerintahan Aquino mengizinkan AS menempatkan pasukannya di Filipina, menggelar patroli laut bersama, dan mengajukan gugatan hukum ke mahkamah arbitrase internasional.

Aquino juga berulang kali mengusung isu Laut China Selatan di KTT regional dan menolak melakukan pembicaraan langsung dengan Beijing.

Hanya 12 hari setelah Duterte berkuasa, mahkamah arbitrase memutuskan untuk memenangkan Filipina dalam sengketa Laut China Selatan dengan menyatakan China tak berhak mengklaim seluruh wilayah perairan itu.

Namun, bukannya menggunakan hasil keputusan mahkamah arbitrase untuk menekan China, Duterte malah berusaha berbaikan dengan negeri tersebut.

Bahkan selama masa kampanye, Duterte sudah mengatakan dia akan mengesampingkan sengketa Laut China Selatan dan imbalannya China akan membangun jaringan kereta api di wilayah Mindanao yang miskin.

Duterte juga mengatakan, Filipina tak terlalu berkepentingan untuk terus berusaha mengklaim kepemilikan Scarborough Shoal, kawasan kaya ikan di zona ekonomi eksklusif Filipina yang direbut China pada 2012.

"Sudahlah jangan tinggal di Scarborough, karena kita tak mampu melawan mereka (China)," ujar Duterte pekan ini.

Rasa hormat

Duterte juga melempar sinyal kepergiannya ke China adalah untuk mendapatkan rasa hormat, setelah Barat mengkritik kebijakannya menerapkan perang melawan narkotika yang sudah menewaskan lebih dari 3.000 orang dalam tiga bulan.

"Mungkin saya akan memutuskan hubungan dengan Amerika. Saya lebih memilih dekat dengan Rusia atau China. Bahkan jika kita tak memiliki ideologi yang sama, mereka masih menghormati orang lain. Rasa hormat sangat penting," ujar Duterte suatu ketika.

Mantan wali kota Davao itu juga mengungkapkan keinginannya berkunjung ke Negeri Beruang Merah.

Sementara itu, pakar kelautan Jay Batongbacal memperingatkan, langkah Duterte ini sama dengan membawa Filipina berjudi dengan China, hanya pemenang dalam perjudian ini sudah dipastikan yaitu China.

"Duterte menciptakan risiko besar, mempertaruhkan segalanya terhadap niat baik dan kebaikan China tanpa jaminan apapun dan tanpa dukungan dari sekutu dan kawan-kawan tradisional Filipina," tambah Batongbacal.

Namun, kata pakar politik regional dari Universitas De La Salle Richard Javad Heydarian, masih terlalu dini bagi China untuk mengklaim kemenangan.

"Saya tak akan terkejut jika dalam beberapa hal Duterte akan membatasi pertaruhannya dan kembali mendekati AS jika dia gagal mendapatkan konsesi yang memuaskan dari China," ujar Heydarian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com