Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/07/2016, 12:22 WIB
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir

Penulis

Serangan teroris di kota Nice, Perancis, Kamis (14/7) malam, yang membawa korban sedikitnya 84 orang tewas, dan sebelumnya serangan teroris di Paris pada November 2015 serta di Brussels, Belgia, pada akhir Maret lalu, membuat menarik untuk mengetahui peta gerakan radikal di Eropa.

Gerakan Salafi di Eropa mulai muncul di Eropa, akhir tahun 1960-an, lewat Gerakan Tabligh dan Dakwah yang digerakkan kaum migran asal Pakistan di Inggris.

Dari Inggris, gerakan Salafi itu menyebar ke negara Eropa lain, seperti Perancis, Belgia, Belanda, dan Jerman.

Namun, gerakan Salafi mulai terlihat kuat di Eropa pada tahun 1990-an melalui para kader Front Penyelamat Islam (FIS) dari Aljazair yang lari ke Perancis, Belgia, Swiss, dan Jerman setelah militer Aljazair menggagalkan hasil pemilu Aljazair tahun 1991 yang dimenangi FIS.

Para kader gerakan Salafi tersebut dikenal terdiri atas tiga kelompok.

Pertama, kelompok Jam'iyah Ulama Aljazair yang didirikan oleh ulama besar Aljazair, Abdelhamid Ben Badis, pada tahun 1936 sebagai gerakan perlawanan pada kolonial Perancis.

Kedua, gerakan Salafi yang digerakkan pelajar di sejumlah universitas dan lembaga salafiyah di Mesir, Irak, Suriah, Jordania, dan negara-negara Arab Teluk.

Ketiga, gerakan Salafi yang digerakkan para Salafi dari Aljazair yang ikut berperang di Afganistan pada era pendudukan Uni Soviet di negara itu tahun 1980- an.

Para Salafi dari Aljazair itu sangat terpengaruh oleh pemikiran tokoh radikal asal Mesir, Sayyid Qutub, dan tokoh radikal asal Palestina, Abdullah Azzam.

Para Salafi kelompok ini, yang bisa disebut Salafi garis keras, memandang tidak cukup berjuang hanya berdakwah, tetapi juga harus berjihad untuk menegakkan negara Islam.

Embrio gerakan

Pandangan Salafi garis keras ini merupakan embrio lahirnya pemikiran dan gerakan militan jihad (Jihadis), yang sempat berkembang di tanah Eropa di tangan kaum migran dari Timur Tengah dan Asia Selatan.

Namun, pada pertengahan tahun 1990-an, pengaruh gerakan Salafi garis keras ini mengalami kemunduran di Eropa lantaran beberapa faktor.

Di antara faktor itu, pertama, gagalnya gerakan Salafi garis keras ini memikat kaum migran Muslim di Eropa dari beberapa wilayah, seperti Timur Tengah, Turki, Maghreb Arab, Afrika, dan Asia Selatan.

Kedua, terisolasinya kelompok Salafi garis keras itu akibat sikap kelompok tersebut mendukung invasi Irak ke Kuwait tahun 1990 sehingga mereka kehilangan dukungan politik dan dana dari negara-negara Arab Teluk.

Redupnya gerakan Salafi garis keras ini membuka jalan bagi munculnya gerakan Salafi baru yang berbau ajaran wahabi.

Para kader gerakan Salafi Wahabi itu digodok di pusat Sheikh Al-Bani di Jordania, Darul Al Hadis di Yaman, Fakultas Syariah di Universitas Damaskus, dan di beberapa universitas di negara-negara Arab Teluk.

Gerakan Salafi Wahabi ini kemudian berkembang di Eropa melalui lembaga-lembaga keagamaan global, di antaranya universitas Islam internasional dan pembangunan masjid-masjid di Belgia, Swiss, Perancis, dan negara Eropa lain.

Gerakan Salafi Wahabi ini cenderung menolak nilai-nilai Barat sehingga banyak pengikut Salafi Wahabi memilih memisahkan diri atau tidak membaur dengan komunitas Eropa.

Hal itu menjadi salah faktor sulitnya integrasi masyarakat Muslim, terutama pengikut Salafi Wahabi, dengan negara dan masyarakat Eropa.

Bahkan, sebagian pengikut Salafi Wahabi ini menyimpang dari arus utama gerakan Salafi Wahabi dan memilih jalan lebih radikal, yakni gerakan Jihadis.

Kaum Jihadis sempalan dari Salafi Wahabi itu yang kemudian terlibat dalam aksi teror di Eropa, seperti serangan terhadap stasiun Metro di Paris tahun 1995.

Selain kaum Jihadis sempalan dari Salafi Wahabi itu, muncul jaringan Jihadis lain yang berasal dari sayap militer FIS di Aljazair, kelompok radikal Tunisia bersenjata, dan kelompok radikal Maroko bersenjata yang lari ke Eropa dari negara masing-masing.

Di Eropa, mereka menyebar ke Spanyol, Perancis, Jerman, Italia, dan Belgia. Belgia kemudian dikenal sebagai basis logistik kelompok Jihadis itu.

Muncul pula jaringan Jihadis dari pejuang bersenjata Arab, yang pulang dari Afganistan atau disebut juga Afgan Al Arab.

Para Afgan Al Arab itu sepulang dari Afganistan memilih tidak pulang ke negeri mereka masing-masing, tetapi pergi ke Eropa.

Valery HACHE / AFP Warga meletakkan karangan bunga di Promenade des Anglais, Nice untuk mengenang korban tragedi truk maut yang menewaskan 84 orang.

Kaum Jihadis yang berasal dari sempalan gerakan Salafi Wahabi, kelompok radikal di Aljazair, Tunisia, dan Maroko, serta Afgan Al Arab merupakan kaum Jihadis generasi pertama.

Mereka ini yang banyak melakukan serangan teror di Eropa pada 1990-an dan awal 2000-an.

Generasi kedua

Mulai pertengahan tahun 2000-an, muncul kaum Jihadis generasi kedua. Mereka putra-putra dari kaum Jihadis generasi pertama.

Ditambah, warga Eropa asli yang masuk Islam dan kemudian sebagian dari mereka berpaham radikal dan bergabung dengan kaum Jihadis.

Warga Eropa asli berpaham radikal itu masuk generasi kedua Jihadis.

Berkat kemajuan teknologi informasi terakhir ini, kaum Jihadis generasi kedua melalui jaringan internet, banyak berinteraksi dan terpengaruh oleh perkembangan di Timur Tengah.

Seperti invasi militer Amerika Serikat ke Irak tahun 2003, munculnya milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), serta musim semi Arab.

Dari kaum Jihadis generasi kedua ini, banyak dari mereka pergi ke Suriah untuk bergabung dengan NIIS atau Front Al Nusra di Suriah.

Banyak dari kelompok Jihadis generasi kedua ini terlibat aksi serangan teror di sejumlah negara Eropa terakhir ini.

Seperti serangan Paris, November 2015, yang membawa korban 130 orang tewas; serangan di Nice, Kamis malam lalu; dan serangan Brussels, akhir Maret lalu, yang membawa korban 34 orang tewas.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com