Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengungsi Anak, Menemukan Kebahagiaan di Sanggar Belajar

Kompas.com - 20/06/2016, 10:32 WIB

Tim Redaksi

Sedih dan kangen juga dirasakan Muhammad Javed (12), yang baru tujuh bulan di Indonesia. Beruntung ada sanggar belajar ini sehingga dia punya banyak teman.

Dia berharap jam sekolah bisa lebih lama karena di rumah pengungsian tak ada kegiatan lain selain menonton televisi. Kadang-kadang dia bermain sepak bola dengan teman sesanggar.

"Di mana saja saya senang. Yang penting aman. Tak seperti di rumah saya dulu, setiap hari ada pembunuhan. Di sini aman, tetapi tidak ada masa depan," ujarnya.

Jika suatu saat keluarganya tak bisa hidup di negara tujuan, Javed tak keberatan tinggal di Indonesia. Tetapi, hal itu tidak mungkin karena, kata Madiha, pengungsi tidak boleh sekolah dan bekerja di Indonesia.

Sebagai pengungsi, mereka juga tergantung dan menjadi beban keluarga mereka di negara lain.

"Kami selalu dikirimi uang oleh keluarga. Tak enak jadi beban orang lain terus," kata Madiha, yang sudah menulis buku tentang perjalanannya dari Pakistan ke Indonesia dan ingin diterbitkan itu.

Iuran komunitas

Sebelum ada sanggar belajar, anak-anak hampir tak punya kegiatan. Bersekolah pun tak mudah karena kendala bahasa.

Padahal, Pemerintah RI mengizinkan mereka sekolah di sekolah negeri. Mereka juga bisa masuk sekolah berbahasa Inggris meski biayanya mencapai 1.800 dollar AS per semester.

Kepala Perwakilan Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) Thomas Vargas mengapresiasi Indonesia yang memperbolehkan pengungsi anak belajar di sekolah negeri meski terkendala bahasa.

Untuk itu, UNHCR bersama lembaga lain memberikan kursus bahasa Indonesia di rumah perlindungan yang dikelola UNHCR dan Church World Service.

Selain bahasa, kendala lain adalah orangtua enggan menyekolahkan anak atau belajar bahasa Indonesia karena masih yakin tidak akan tinggal lama di negeri ini.

Padahal, Vargas khawatir pengungsi harus tinggal lebih lama dari harapan. "Dengan krisis global pengungsi sekarang, mereka akan lama di sini," ujarnya.

Karena gelisah melihat anak-anak tak bersekolah, dua pengungsi Liaquat Changezi dan Asad Shadan berembuk dengan komunitas pengungsi dan masyarakat setempat untuk membuka sekolah.

Karena pengungsi tidak boleh membuka sekolah, dibukalah sanggar belajar ini pada Agustus 2014.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com