Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Klub Sepak Bola Laos Diduga Rekrut Anak-anak Afrika secara Ilegal

Kompas.com - 21/07/2015, 17:49 WIB

VIENTIANE, KOMPAS.com - Puluhan pemain sepak bola asal Afrika, termasuk mereka yang baru berusia 14 tahun, diyakini telah menjadi korban perdagangan manusia di Asia dan dipaksa untuk menandatangani kontrak dengan klub-klub sepak bola di Laos.

Enam pemain di bawah umur masih bermain dengan klub utama Laos, Champasak United. Padahal, klub tersebut telah mengimpor 23 pemain bawah umur dari Afrika Barat untuk akademi bola ilegal pada Februari. Demikian hasil investigasi BBC.

Aturan FIFA melarang perpindahan pemain ke akademi atau klub asing sampai mereka berusia 18 tahun. Klub yang berbasis di Pakse, wilayah selatan Laos, itu membantah melakukan tindakan ilegal.

"FIFA sedang menghubungi beberapa anggota asosiasi untuk mengumpulkan berbagai informasi untuk menyelidiki masalah ini dan menjaga kepentingan para anak-anak di bawah umur," kata juru bicara FIFA kepada BBC.

Menurut klaim yang beredar, klub Champasak United yang baru dibentuk dan bermain di liga utama Laos berniat untuk meraih untung dengan menjual para pemain ini di masa depan.
Dengan merekrut pemain muda usia 14 dan 15 tahun untuk liga musim ini, klub ini jelas-jelas telah melanggar aturan organisasi sepak bola dunia.

Seorang pemain usia 14 tahun asal Liberia, Kesselly Kamara, yang menyumbang sejumlah gol dalam kompetisi liga mengatakan bahwa ia dipaksa untuk menandatangani kontrak enam tahun sebelum bermain untuk tim senior.

Di kontrak disebut ia akan mendapat gaji dan akomodasi. Namun, kata Kamara, dia tak pernah menerima gaji dan harus tidur di lantai stadion klub, begitu juga dengan rekan seperjalanannya.

"Kondisinya sangat buruk karena ada 30 orang tidur di ruangan yang sama," kata Kamara, yang kini bermain untuk klub kelas atas di Liberia.

Akademi sepak bola fiktif

Semua pemain belia asal Afrika itu bergabung dengan "IDSEA Champasak Asia African Football Academy". Mereka datang atas undangan dari bekas pemain internasional Liberia, Alex Karmo yang sempat menjadi kapten timnas negeri itu.

Para pemain muda pun berminat dengan ajakan itu karena Liberia tak memiliki akademi sepak bola, meski hingga kini menjadi satu-satunya negara Afrika yang memiliki pemain terbaik dunia versi FIFA, yaitu George Weah (1995).

"Itu akademi fiktif yang tak pernah terdaftar," kata wartawan dan promotor olahraga Liberia, Wleh Bedell, yang sempat memimpin sekelompok pemain ke Laos pada Februari lalu tapi kemudian kembali.

"Tidak ada pelatih atau dokter di akademi itu. Karmo menjadi pelatih, manajer bisnis, semuanya. Benar-benar tak masuk akal," tambah Wleh.

Akibat tekanan dari FIFA dan badan pemain dunia FIFPro, Champasak pun melepas 17 pemain remaja yang ikut dalam rombongan tersebut, termasuk Kamara, tiga bulan lalu. Namun enam orang anak memilih tinggal bersama klub Laos tersebut.

Menurut FIFPro, semua pemain belia itu sudah menandatangani kontrak yang diajukan Karmo yang menyebut dirinya "manajer pemain dari Afrika di Champasak", dan presiden klub Phonesavanh Khieulavong.

Ternyata , dalam kenyataannya Champasak kerap tak membayar honor para pemain. Namun klub itu menuntut para pemain memenuhi syarat-syarat yang tidak realistis jika mereka ingin pergi. Namun, menurut Karmo, para pemain yang tergabung dalam klub itu mendapat perlakuan baik termasuk mendapat makan tiga kali sehari dan gaji setiap bulan.

"Kami tidak memberi (mereka) kontrak profesional, hanya kontrak untuk bonus," kata Khieulavong kepada BBC.

Khieulavong dan Karmo sama-sama membantah keberadaan pemain di bawah umur di akademi, meski Karmo membenarkan terdapat satu pemain belia berusia 16 tahun yang berasal dari dari Guinea.

Seperti budak

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan BBC, terdapat lima orang pemain di bawah umur asal Liberia di klub tersebut. Bersama dengan delapan pemain senior (enam dari Liberia, seorang dari Ghana, dan satu asal Sierra Leone), mereka tinggal dalam kondisi yang "mengenaskan dan mengerikan" kata Bedell.

Selama lima bulan, mereka tidur di atas kasur tipis dalam ruang besar tanpa jendela dan ada kunci pintu. "Sulit tinggal di tempat tanpa jendela. Tidur pun susah karena saya selalu berpikir tentang hidup saya," kata Kamara.

"Para pemain berada di tempat yang seolah mengingatkan akan krisis di Liberia saat orang-orang meninggalkan rumah dan terus mengungsi, berlindung di gedung-gedung atau auditorium," kata Bedell yang merasakan perang saudara negara itu pada 1989-1996 dan 1999-2003.

Aktivitas anak-anak Afrika ini semakin terbatas saat mereka menjadi imigran ilegal pada Maret setelah visa mereka habis. Mereka berharap mendapat izin kerja, tapi tampaknya hal tersebut tak mungkin diperoleh karena mereka semua masih di bawah umur.

Karmo, yang berkeras bahwa dia telah membayar Kamara, mengaku bahwa sembilan dari 14 pemain Afrika tak punya izin kerja tapi mereka punya visa untuk tinggal di Laos. "Tak ada yang ilegal. Semua orang legal," katanya kepada BBC

Karena paspor mereka ditahan manajemen klub sejak tiba di Laos, para pemain ini jarang meninggalkan stadion tempat mereka tinggal dan berlatih dua kali sehari. Meski situasinya buruk, tak semua orang ingin mereka keluar dari Laos.

"Saya tidak mau dia kembali ke Liberia sampai dia sukses mewujudkan mimpinya," kata Bella Tapeh, ibu seorang anak berusia 17 yang tinggal di Pakse.

Sebagian dari pemain yang kembali ke Liberia mengatakan kepada BBC bahwa mereka mendapat makanan sedikit, jarang dibayar, dan tak mendapat bantuan medis dari klub saat menderita malaria dan tipus karena kondisi kehidupan mereka.

Seorang dari mereka menggambarkan kondisi di Champasak United tak beda dengan "kerja budak". "Ini adalah situasi yang sangat serius," kata pejabat FIFPro, Stephane Burchkalter.

"Sangat mengejutkan ketika sebuah klub dari Laos, negara sepak bola yang - tanpa mengurangi rasa hormat - kecil, tapi bisa menarik pemain muda dari Liberia tanpa pengawasan FIFA," ujar Burchkalter.

Puncak gunung es

Dalam sebuah pernyataan resmi, FIFPro mencurigai kasus yang saat ini terungkap hanyalah 'puncak gunung es'. Sebuah LSM, Culture Foot Solidaire, memperkirakan terdapat 15.000 pemain sekap bola remaja yang dibawa keluar negeri setiap tahun dari Afrika Barat, kebanyakan secara ilegal.

FIFPro juga sudah mendesak FIFA untuk mengambil tindakan untuk Federasi Sepak Bola Laos yang sejauh ini mendiamkan Champasak meski jelas melanggar aturan. Ada tiga pengecualian aturan FIFA mengenai perpindahan pemain di bawah usia 18 tahun, tapi ketiganya tak berlaku dalam kasus ini.

Jarang muncul bukti bahwa klub melanggar peraturan mengontrak pemain di bawah usia 18 tahun. Namun, juara Eropa, FC Barcelona kini sedang menjalani larangan transfer karena pelanggaran tersebut.

Sementara itu, orang tua dari 12 pemain Afrika ini juga tengah menghadapi kesulitan keuangan setelah meminjam uang untuk membayar ongkos perjalanan anak-anak mereka sebesar 550 dolar AS atau setara Rp7,3 juta. Satu kasus kini sudah ditangani kepolisian Liberia.

 



Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com