Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Korban Perang Tak Pernah Menjadi Masa Lalu

Kompas.com - 09/02/2014, 10:53 WIB

Beah, kini Goodwill Ambassador PBB untuk isu serdadu anak, ahli hukum, dan penulis buku laris, "A long Way Gone: Memoirs of a Boy Soldier" (2007). Setelah dua tahun dijadikan combatant kelompok lawan RUF, ia diselamatkan tim Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef). Rehabilitasi yang sangat sulit berlangsung sembilan bulan. Ketika perang mencapai puncak, tahun 1998, ia diadopsi pekerja Unicef, Laura Sims, dan dibawa ke Amerika Serikat.

Beah lolos dari lubang jarum, tetapi banyak anak tak lolos karena proses cuci otak yang masif dan intensif atas nama ideologi (agama). Sejak bom bunuh diri digunakan dalam perang di Afganistan tahun 2003, ratusan anak diculik dan dijual kepada Taliban untuk dilatih sebagai pembawa bom bunuh diri di Pakistan dan Afganistan, dan di Irak oleh Al Qaeda.

Sekitar 90 persen pembawa bom bunuh diri di Pakistan berusia 12-18 tahun meski dalam beberapa kasus termasuk anak usia enam sampai sembilan tahun. Qasim Yousafzai melaporkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak laki-laki yang direkrut sebagai ”pejuang” oleh Taliban (Central Asia Online, 3/10/2013).

Penculikan bayi

Kejahatan terhadap anak dalam situasi perang atau konflik bisa mengambil bentuk lain, seperti penculikan bayi oleh militer setelah orangtua mereka ”dihilangkan”. Isu penculikan 500 bayi merupakan satu dari bagian paling traumatik selama pemerintahan otoriter di Argentina, 1976-1983.

Mereka dikenal sebagai anak-anak ”Dirty War”, yang terkuak setelah perjuangan keras The Mothers and Grandmothers of the Plaza de Mayo atas hak kebenaran terkait anak dan cucu mereka yang diculik.

The Mothers and Grandmothers of the Plaza de Mayo yang lahir tahun 1976 adalah gerakan legendaris dalam sejarah pergerakan perempuan di dunia karena keberaniannya menentang rezim militer yang berkuasa. Mereka juga memainkan peranan penting di dalam negeri dan di forum internasional dalam kejatuhan rezim.

Mereka terdiri dari ibu, bibi, nenek dari berbagai kelas sosial yang anggota keluarganya ”dihilangkan” oleh junta militer. Selama tujuh tahun kekuasaan junta mengubah peran tradisional para ibu itu menjadi aktivis politik dan HAM.

Sejak tanggal 30 April 1977 sampai saat ini, setiap Kamis siang mereka bergandengan tangan mengitari Plaza de Mayo selama satu jam membawa foto anak-anak dan para cucu mereka.

Kasus ini diungkap dalam film dokumenter "Becoming Victoria", tentang Victoria Montenegro (35). Pada tahun 2000, ”sang ayah”, Letkol Hernán Tetzlaff, mengakui semua perbuatannya, termasuk bertanggung jawab atas kematian orangtua kandung Victoria.

Namun, baru saat bersaksi, musim semi tahun 2011—setelah bukti tes DNA oleh kelompok hak asasi manusia—ia terhubung dengan masa lalunya dan membuang nama Maria Sol yang tertera di surat kelahiran palsu.

Hukuman 50 tahun

Rencana sistematik penculikan bayi pihak yang dianggap ”musuh pemerintah” di rumah-rumah tahanan terungkap dalam kesaksian di pengadilan. Bayi-bayi itu diberikan kepada pihak yang harus menyembunyikan identitas asli anak. Jenderal Rafael Videla diganjar hukuman 50 tahun karena terbukti memimpin tindak kejahatan itu.

”Warga Argentina yang menyetujui amnesti menolak memaafkan para pejabat tinggi militer atas kasus ini,” ujar Jose Miguel Vivanco, Direktur Human Rights Watch Amerika, seperti dikutip The New York Times (8/10/2011). 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com