Salin Artikel

Selain Venezuela, Jerman hingga Yunani Juga Pernah Alami Hiperinflasi

Guru Besar Ilmu Ekonomi Terapan Universitas John Hopkins, Baltimore, AS, Profesor Steve Hanke mengatakan, harga bahan pokok di negeri itu meroket sejak Agustus lalu dengan level kenaikan sebesar 65.000 persen setahun.

Di bawah pemerintahan Nicolas Maduro, inflasi Venezuela mencapai 150 persen per bulan.

Sebuah negara mengalami hiperinflasi jika rerata inflasi lebih dari 50 persen dan bertahan lebih dari 30 hari berturut-turut.

Saat ini Venezuela adalah satu-satunya negara yang mengalami hiperinflasi. Namun, banyak negara lain yang pernah mengalami masalah sama, berikut lima di antaranya.

1. Hungaria (1946)

Harga naik dua kali lipat setiap 15 jam.

Pada Juli 1946, angka inflasi di Hungaria mencapai 41.900 triliun persen per bulan sekaligus menjadi episode hiperinflasi terburuk sepanjang sejarah dunia.

Kondisi ini diperparah dengan kenaikan harga bahan pokok dua kali lipat setiap 15 jam.

Artinya, berapa pun uang yang dimiliki rakyat di malam hari hanya berharga setengahnya saat matahari terbit.

Saat itu pecahan uang terbesar di Hungaria adalah 1 kuintilion pengo, satu kuintilion adalah angka 1 diikuti 12 angka nol di belakangnya.

Penyebab ambruknya ekonomi Hungaria adalah Perang Dunia II. Konflik bersenjata itu menghapus 40 persen kekayaan negeri itu dan 80 persen ibu kota Budapest hancur lebur.

Jalan raya dan infratruktur perhubungan hancur dan pemerintah  Hungaria dipaksa membayar kompensasi perang yang amat besar karena berpihak di sisi yang kalah dalam perang itu.

Pada 1 Agustus 1946, pemerintah mengadopsi sebuah program stabilisasi radikal termasuk di dalamnya reformasi pajak, mengumpulkan aset berupa emas di luar negeri, serta pengenalan mata uang baru yaitu forint.

Inflasi harian: 98 persen

Harga naik dua kali lipat setiap 25 jam.

Menyusul reformasi pertanahan yang kontroversial yang di dalamnya termasuk perampasan lahan milik petani kulit pitih pada 1990-an, Zimbabwe kemudian mengalami krisis hasil pertanian.

Situasi memburuk setelah negeri itu terlibat Perang Kongo pada 1998 dan dampak sanksi ekonomi dari AS dan Eropa terhadap pemerintahan Robert Mugabe.

Satu dekade kemudian dampak ekonominya mulai terasa. Pada 2008, level inflasi di Zimbabwe mencapai 79 juta persen per bulan.

Akibatnya, harga barang pokok naik beberapa kali dalam sehari. Keruntuhan ekonomi membuat rakyat harus hidup dengan kurangnya pasokan air bersih dan listri.

Mereka juga harus antre di bank dan SPBU serta sebagian besar toko serba ada kekurangan bahan makanan.

Banyak warga Zimbabwe terpaksa membeli kebutuhan pokok di Afrika Selatan atau Botswana. Sementara dollar AS dan rand Afrika Selatan menjadi mata uang de facto negeri itu.

Pada 2009, Bank Zimbabwe membekukan mata uang negeri itu lalu menggunakan mata uang AS dan Afrika Selatan sebagai alat pembayaran yang sah.

Inflasi harian: 65 persen.

Harga naik dua kali lipat setiap 34 jam.

Yugoslavia adalah sebuah negeri yang dibentuk pasca-Perang Dunia I yang merupakan penggabungan dari Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Macedonia, Montenegro, Serbia, dan Slovenia.

Namun, krisis politik dan ekonomi pada 1980-an berujung para perang saudara dan perpecahan Yugoslavia pada 1992. Saat itu hanya Serbia dan Montenegro yang memutuskan masih bersatu.

Dihantam konflik yang mengakibatkan kehancuran ekonomi dalam negeri, pemerintah mulai mencetak uang untuk mengisi kas negara.

Pembiayaan publik yang tak terkendali, ketidakefisienan, korupsi, dan sanksi PBB pada 1992-1993 memperburuk masalah di Yugoslavia.

Pada awal 1994, harga barang-barang naik 313 ribu persen setiap bulan.

Warga bergegas menghabiskan uang mereka begitu mendapatkannya. Sebagian besar rakyat Serbia sampai harus berbelanja ke negeri tetangga, Hungaria.

Di tengah kondisi ini, pasar gelap merajalela dan mata uang mark Jerman dan dollar AS menjadi alat pembayaran paling populer.

Sebagai upaya untuk mengakhiri masalah eknonomi dan sanksi PBB, pemimpin Yugoslavi Slobodan Milosevic sepakat untuk menerbitkan mata uang baru yang didukung cadangan uang tunai dan emas milik negeri tersebut.

Inflasi harian: 21 persen

Harga naik dua kali lipat setiap 3 hari, 17 jam.

Setelah Perang Dunia I berakhir pada 1918, Jerman dililit utang dan biata pembangunan.

Akibatnya, pemerintah mulai mencetak uang baru untuk membeli mata uang dan membayar utang. Di saat semakin banyak uang dicetak, maka nilai malah makin merosot.

Krisis semakin  buruk ketika Jerman telat membayar utang pada 1923 yang memicu Belgia dan Perancis menduduki Lembah Ruhr, pusat industri Jerman.

Kedua negara itu berniat menyita aset Jerman untuk membayar utang. Situasi ini memicu pemogokan kerja dan terhentinya produksi.

Pada Oktober 1923, angka inflasi melejit mencapai 29.500 persen sebulan dengan harga bahan pokok naik dua kali lipat setiap tiga hari.

Pada Januari 1923, harga roti masih 250 mark tetapi pada November harga roti menjadi 200 juta mark.

Krisis ini bahkan menimbulkan banyak anekdot misalnya seseorang meninggalkan koper berisi uang tanpa dijaga, kemudian dia mendapati pencuri mengambil koper tetapi meninggalkan uangnya.

Kisah lain misalnya, seorang ayah pergi ke Berlin untuk membeli sepatu, tetapi sesampainya di sana dia mengetahui uangnya hanya cukup untuk secangkir kopi dan tiket bus untuk pulang.

Akhir tahun 1923, pemerintah Jerman memperkenalkan mata uang baru, rentenmark yang didukung ketersediaan lahan pertanian.

Ekonomi menjadi lebih stabil setelah negara-negara kreditur sepakat untuk merestrukturisasi utang perang Jerman.

Inflasi harian: 18 persen

Harga naik dua kali lipat setiap 4 hari, 6 jam.

Ekonomi Yunani ambruk saat negeri itu diduduki Jerman dalam Perang Dunia II.

Jerman mengangkut semua barang mentah, ternak, dan makanan. Di sisi lain biaya pendudukan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan boneka yang dibentuk Jerman.

Anjloknya produksi pertanian memicu krisis pangan dan periode yang kemudian disebut sebagai "Kelaparan Besar".

Berkurangnya pemasukan dari pajak membuat inflasi meroket yang puncaknya terjadi pada November 1944 yang mencapai 13.800 persen sebulan.

Meski kenaikan harga barang-barang pokok tidak seburuk di Hungaria atau Jerman pasca-perang, perbaikan ekonomi Yunani membutuhkan waktu lebih panjang.

Setelah, Jerman angkat kaki pada Oktober 1944, pemerintah Yunani melakukan tiga langkah dalam 18 yaitu reformasi keuangan, pinjaman luar negeri, dan menerbitkan mata uang baru untuk menstabilkan perekonomian.  


https://internasional.kompas.com/read/2018/09/24/13201691/selain-venezuela-jerman-hingga-yunani-juga-pernah-alami-hiperinflasi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke