Salin Artikel

Kisah Para Terpidana dan Eksekutor Hukuman Mati di Jepang

Salah satu negara maju yang masih menerapkan hukuman mati dalam sistem hukumnya adalah Jepang.

Di Jepang, terpidana mati bisa menunggu hingga puluhan tahun sebelum dieksekusi dan para penjaga yang melaksanakan eksekusi hanya dibayar 20.000 yen atau sekitar Rp 2,6 juta.

"Sungguh mengerikan, tubuh terpidana terjatuh seperti sebuah benda seberat 70 kilogram pada sebuah tali nilon," kata Toshio Sakamoto, mantan sipir yang pernah menyaksikan detik-detik eksekusi.

Dia menggambarkan seluruh proses jalannya eksekusi itu sebagai sebuah peristiwa yang amat mengerikan. Terpidana yang akan menjalani eksekusi ditutup matanya serta tangan dan kaki diborgol.

Dia lalu dibimbing petugas ke tempat yang sudah ditentukan. Lalu sebuah pintu kecil di bawah kaki terpidana terbuka membuat dia terjatuh dan lehernya terjerat tali gantungan.

Petugas menggunakan tombol di ruangan lain untuk membuka pintu jebakan itu.
Beberapa petugas berbarengan menekan tombol itu, meski hanya satu tombol yang benar-benar berfungsi untuk membuka pintu kecil itu.

"Petugas yang mendapat giliran menjalankan eksekusi mengingat suhu tubuh terpidana, napas mereka, kata-kata mereka...tetapi mereka harus menjalankan tugas," tambah Sakamoto.

Dan, lanjut Sakamoto, para terpidana mati itu tidak menerima konseling. Sehingga mereka harus menjalani masa-masa mengerikan itu sendirian.

"Tak ada pekerjaan yang lebih buruk dari ini. Nyawa seorang manusia hanya dihargai 100.000 yen (Rp 13,4 juta)," lanjut dia.

Jepang adalah satu-satunya negara industri maju, selain Amerika Serikat, yang masih menerapkan hukuman mati.

Di bawah undang-undang Jepang, seharusnya hukuman mati harus dijalankan maksimal enam bulan setelah ditetapkan oleh pengadilan tinggi.


Nyatanya, banyak terpidana mati yang menanti eksekusi hingga bertahun-tahun. Kini terdapat 101 orang terpidana mati di Jepang yang masih menanti eksekusi.

"Terpidana biasanya hanya diberitahu soal nasib mereka hanya beberapa jam sebelum eksekusi digelar, beberapa orang bahkan tidak diberitahu sama sekali," demikian pernyataan Amnesti Internasional.

"Terpidana terus diisolasi sehingga mereka amat menderita karena tidak mengetahui kapan eksekusi digelar, bahkan tak jarang hingga beberapa puluh tahun," tambah Amnesti.

Bahkan, lanjut Amnesti, keluarga terpidana diberitahu setelah eksekusi hukuman mati dilaksanakan.

Munehiro Nishiguchi, seorang terpidana mati kasus pembunuhan, masih menanti nasib karena kasusnya kini sedang disidangkan di Mahkamah Agung.

Namun, kabar eksekusi 13 anggota sekte Aum Shinri Kyo belum lama ini membuat Nishiguchi amat terkejut.

"Saya merasa menjadi seseorang yang amat lemah," ujarnya dalam surat kepada Yo Nagatsuka yang sedang membuat film dokumenter tentang hukuman mati di Jepang.

"Saya kini menyadari hukuman sesungguhnya adalah penderitaan dan ketakutan yang saya rasakan saat menanti hari eksekusi," tabah Nishiguchi.

Pada 2014 pemerintah menggelar survei terhadap sekitar 1.800 orang dan menunjukkan 80 persen orang berpikir hukuman mati "tak bisa dihindari" dan hanya 10 persen warga Jepang yang setuju hukuman mati dihapus.

Di sisi lain, sebanyak 38 persen mengatakan, hukuman mati bisa dihapus dan diganti dengan hukuman penjara seumur hidup tanpa peluang bebas bersyarat.

Hukuman penjara tanpa kemungkinan bebas bersyarat justru tidak diizinkan jika menggunakan undang-undang yang masih berlaku.

Hingga saat ini tak terlihat tanda-tanda pemimpin Jepang berupaya untuk mengubah sistem hukum yang ada saat ini.

Pada 5 Juli 2018, sehari sebelum eksekusi tujuh anggota Aum Shinri Kyo, PM Shinzo Abe tertangkap kamera sedang berpesta bersama sesama politisi.

Abe bahkan mengacungkan ibu jari bersama menteri kehakiman yang meneken perintah hukuman mati itu.

https://internasional.kompas.com/read/2018/09/07/16131361/kisah-para-terpidana-dan-eksekutor-hukuman-mati-di-jepang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke