REHMAN Rashid, salah satu penulis, pencerita, petualang, dan naturalis terkenal Malaysia telah berpulang untuk selamanya.
Dia meninggal dunia di usianya yang ke-61 tahun akibat serangan jantung yang dideritanya sejak di awal tahun ini.
Bagi saya, Rehman lebih dari sekadar seorang jurnalis. Dia adalah seorang pencerita sekaligus penyokong kebebasan pers.
Dia seorang yang bersosok "brutal" dan tak akan pernah mundur, bahkan ketika dia menceritakan kegagalannya sendiri.
Datang dari negara yang budayanya sudah sangat kental, sangat Melayu, Muslim, dan aristokratik, sejak kemerdekaan hampir 60 tahun yang lalu, pendekatan menulis Rehman yang multi-ras, multi-agama, dan selalu dari bawah ke atas, selalu menghadirkan gaya penulisan jurnalistik yang menyegarkan. Gaya menulis Rehman selalu berbeda.
Lahir dari hasil pernikahan campuran (ayahnya Muslim India dan ibunya campuran Asia Eropa), Rehman tampaknya telah memasuki kalangan elit Melayu-Muslim saat bergabung dengan sekolah bergengsi, Malaysian College Kuala Kangsar (MCKK), dan kemudian meraih gelar sarjananya dalam bidang Biologi Laut di Inggris.
Namun, setelah bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan akademisi, pada 1981dia akhirnya menemukan panggilan jiwa yang sesungguhnya yakni menjadi penyiar dan kemudian asisten redaktur di New Straits Times (NST).
NST saat itu merupakan media Malaysia berbahasa Inggris yang terkemuka, koran yang sangat menarik dan menantang para penulis andal.
Meski begitu, dia tidak menyukai pekerjaan di belakang meja. Rehman memiliki banyak kepribadian dan harga diri yang tinggi untuk meredam kekuasaan dan pengaruh kuat Kuala Lumpur.
Karena itu, dia merasa paling bahagia berada di lapangan, dan kolomnya, "Scorpion Tales" mencerminkan hal itu.
Menolak narasi kalangan elit, dia lebih menyukai berada di antara orang-orang Malaysia biasa, duduk di warung kopi Tionghoa atau warung Malaysia.
Itulah pertama kalinya saya mengenal dan bertemu dengannya ketika waktu itu, saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan magang di NST pada 1982.
Awal tahun 1980-an adalah waktu yang menggairahkan bagi Malaysia. Dr Mahathir Mohamad baru saja memulai masa jabatannya dan negara ini merasa seperti muda kembali serta penuh harapan. Hanya saja, situasi itu tidak berlangsung lama.
Persaingan di dalam partai yang berkuasa, UMNO, memicu ketegangan politik yang lebih luas dan kontrol yang ketat terhadap kebebasan sipil tidak dapat dihindarkan.
Wartawan koran seperti Rehman harus melakukan pelanggaran hukum di bawah undang-undang yang kejam seperti Undang-Undang Pencetakan dan Publikasi 1984, aturan yang dipaksakan dan memberikan kewenangan pada pemerintah Malaysia untuk membredel surat kabar yang “menentang” pemerintah.