Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TNI dan Rasionalitas Demokrasi

Kompas.com - 03/10/2015, 15:11 WIB

Oleh: Achmad Soetjipto

JAKARTA, KOMPAS - Ekonomi nasional dalam masalah. Banyak indikator untuk menyebut demikian. Sangat disayangkan para politisi tidak cukup tanggap membaca kegelisahan rakyat luas.

Di saat rakyat sedang hidup sulit, para elite politik justru mempertontonkan konflik kekanakan tak berkesudahan. Banyak yang menyebut situasi ekonomi sekarang hampir mendekati krisis 1998. Lantas, jika demikian, apakah kita masih patut membanggakan demokrasi yang ternyata seremonial belaka? Kenyataan bahwa demokrasi belum mampu melahirkan elite politik berjiwa negarawan adalah hal yang sungguh memprihatinkan.

Peradaban demokrasi

Saat ini, Indonesia seperti di simpang jalan. Pada kasus di sejumlah negara yang mengalami situasi serupa memang muncul beberapa perubahan. Thailand dan Korea Selatan pada krisis 1997 adalah contoh negara yang mampu memanfaatkannya untuk memperkuat ekonomi. Rusia menjadikan krisis sebagai momentum memperkuat pengaruh militer. Jepang mengevaluasi kembali doktrin pertahanan dengan asumsi perebutan ekonomi tidak senantiasa dapat diselesaikan dengan negosiasi. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah demokrasi akhirnya jadi jebakan?

Kita punya pengalaman mengelola krisis 1998. Pelajarannya, kelambanan merespons krisis pada titik tertentu dapat berakibat fatal. Ini karena potensi konflik Indonesia lebih rumit dibandingkan negara lain. Heterogenitas masyarakat yang unik, penyebaran penduduk di ribuan pulau, kepincangan distribusi kemakmuran yang berakibat kesenjangan sosial yang tajam, dan sejarah konflik yang belum tuntas hingga akar adalah beberapa hal yang bisa menjadi pemicu.

Para pendiri republik telah menetapkan visi tentang kesatuan bangsa ini. Amat disayangkan hingga lebih dari 70 tahun usia republik ini, kesatuan negara-bangsa belum menemui titik final. Terasa semakin langka menemukan pemimpin yang tulus merajut konsensus dan bersikap sebagai solidarity maker.

Pada kesempatan di mana kepentingan primordialnya terusik, daerah dengan mudah mengungkit kesatuan RI. Dalam konteks ini, demokrasi makin jauh untuk berperan besar memformulasi terbangunnya negara-bangsa.

Kemandekan pengembangan demokrasi secara otomatis juga menghambat kemajuan peradaban bangsa. Kemandekan juga berarti memelihara berbagai ketidakpuasan terhadap negara- bangsa, memberi ruang bagi tumbuh suburnya kegelisahan dan kegamangan. Jika kegelisahan dan ketakpuasan bermetamorfosis jadi kekalapan dan perlawanan, mau tak mau harus diendapkan dengan cara apa pun.

Pihak yang paling punya kualifikasi untuk ini adalah militer. Di negara mana pun, jika sudah pada situasi darurat, militer pasti bertindak, tak terkecuali di Indonesia. Terlebih TNI memiliki sejarah sebagai tentara pejuang dengan kredo penyelamat bangsa dan NKRI harga mati adalah doktrin tertinggi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com