Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TNI dan Rasionalitas Demokrasi

Kompas.com - 03/10/2015, 15:11 WIB

Rasionalitas madani

Keterlibatan militer dalam domain sipil senantiasa mengundang kecaman. Bagi kalangan yang menganggap demokrasi adalah segalanya, masuknya militer ke wilayah yang jadi wewenang sipil adalah bentuk pelanggaran serius terhadap demokrasi. Adapun konteks situasi, keperluan bahkan manfaatnya sama sekali tidak dilihat.

Di sejumlah negara maju, kebuntuan dan jebakan demokrasi diselesaikan dengan cara demokrasi. Namun, di negara yang demokrasinya belum matang, jalan buntu demokrasi biasanya diikuti dan berakhir dengan chaos. Untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman tersebut, kuasa sipil perlu merumuskan pemecahan masalah sebagai antisipasi buntunya demokrasi. Sipil tidak perlu takut militer akan terlibat jika memang pemecahan masalah tersebut cukup memadai. Sebaliknya sipil juga jangan terlalu cari mudahnya saja dengan sedikit-sedikit melibatkan militer.

Banyak kalangan berpendapat tindakan seperti itu lambat laun akan mencederai demokrasi dan dampaknya bahkan jauh lebih besar daripada chaos akibat jalan buntu demokrasi. Chaos melibatkan partisipasi massa aktif dan masif. Walau jatuh korban, terbuka peluang lahir perubahan. Sementara jika elite sipil berkonspirasi dengan militer, korbannya keseluruhan tatanan masyarakat sipil, masyarakat madani. Apakah dengan demikian militer menjadi hantu yang menakutkan bagi demokrasi?

Harus dipahami dan diingat, meski dalam peran yang berbeda, sesungguhnya militer pilar penting demokrasi. Kesediaan militer meninggalkan politik adalah kontribusi terbesar dalam penegakan demokrasi. Sebaliknya sipil pun mestinya berlaku serupa dengan memberikan militer apa yang menjadi haknya. Demokrasi bisa tegak apabila terbangun keseimbangan di antara keduanya. Masyarakat madani dan militer harus sama-sama kuat untuk dapat menjaga satu sama lain.

Studi konsolidasi demokrasi di beberapa negara menunjukkan, sipil yang lemah akan mengundang intervensi militer. Sipil yang lemah ditandai belum mapannya demokrasi sebagai budaya, pelembagaan konflik produk pemilu, etos dan mentalitas birokrasi yang rendah, ketidakmampuan membangun konsensus, dan ketiadaan visi tentang masa depan bangsa. Sementara jika militer lemah akan mudah diperalat kekuatan politik sipil untuk menindas lawan politiknya.

Konsolidasi demokrasi

Semua buku tentang demokrasi menuliskan pemilu adalah sarana menjaring partisipasi publik, dan inti dari konsolidasi demokrasi adalah bagaimana membangun supremasi sipil. Kehendak publik untuk sejahtera dan menikmati kemajuan di berbagai bidang jadi ukuran faktual. Barometer psikologisnya adalah tumbuhnya kebanggaan sebagai warga negara dan kepercayaan terhadap pemimpin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com