Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Malaysia Tak Terima Migran Rohingya dan Banglades kecuali bila Kapal Karam

Kompas.com - 13/05/2015, 08:51 WIB
LANGKAWI, KOMPAS.com - Ribuan migran dari Banglades dan kaum Muslim Rohingya dari Myanmar tampaknya masih akan terus terapung-apung di lautan, tanpa ada tempat yang bersedia menerima mereka setelah Malaysia dan Indonesia menolak untuk menampung mereka.

Para penyelundup telah mengabaikan kapal-kapal tersebut dalam beberapa hari terakhir di tengah kekhawatiran ditangkap sebagai bagian dari sindikat perdagangan manusia. Mereka meninggalkan para migran yang kini nasibnya tak menentu.

PBB memohon kepada negara-negara di Asia Tenggara untuk membuka perbatasan mereka dan membantu mereka yang terlantar.

"Kami tidak akan membiarkan kapal asing masuk," kata Tan Kok Kwee, laksamana utama lembaga penegakan maritim Malaysia, Selasa (12/5/2015).

Kecuali bila mereka terancam tenggelam, katanya, Angkatan Laut Malaysia akan menyediakan "bantuan dan mengirim mereka pergi."

Sebelumnya, Indonesia mencegat sebuah kapal yang dipadati ratusan migran Rohingya dan Banglades. Pihak Indonesia  mengatakan, mereka diberi makanan, air dan petunjuk arah ke Malaysia, negara tujuan mereka.

Asia Tenggara sedang berada di ambang sebuah krisis kemanusiaan, dengan sekitar 1.600 migran mendarat di Indonesia dan Malaysia yang selama beberapa tahun terakhir telah menunjukkan simpati kepada nasib warga minoritas Muslim Rohingya.

Ribuan lainnya diyakini masih terombang-ambing di Selat Malaka di perairan sekitarnya, sebagian di antara mereka telah terlantar selama lebih dari dua bulan. Para aktivis memperkirakan masih banyak lagi kapal yang akan mencoba untuk menepi dalam beberapa hari dan pekan mendatang.

Para penumpang sebuah kapal memohon untuk diselamatkan dari Pulau Langkawi, Malaysia, tapi hingga larut malam belum ada bantuan yang datang. Seorang aktivis mengatakan ia dapat mendengar seorang anak menangis saat ia menerima panggilan telepon dari kapal.

Muslim Rohingya telah selama beberapa dekade menerima diskriminasi di Myanmar. Ditolak sebagai warga negara oleh Myanmar, mereka jadi tidak memiliki status kewarnegaraan. Akses mereka untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan terbatas dan kebebasan mereka untuk bergerak sangat dibatasi.

Dalam tiga tahun terakhir, serangan terhadap Muslim Rohingya telah menewaskan 280 orang dan memaksa 140.000 lainnya mengungsi ke kamp-kamp yang padat di luar Sittwe, ibukota Negara Bagian Rakhine, di mana mereka tinggal di bawah kondisi yang menyedihkan, tanpa kesempatan untuk mencari nafkah.

Hal ini telah memicu salah satu arus eksodus manusia perahu terbesar di wilayah ini sejak Perang Vietnam, dengan sekitar 100.000 lelaki, perempuan dan anak-anak menumpang kapal untuk mencari penghidupan yang lebih baik sejak Juni 2012, menurut Komisi Tinggi PBB bagi Pengungsi.

Perhentian pertama, hingga akhir-akhir ini, adalah Thailand, di mana para migran ditahan di kamp-kamp hingga keluarga mereka dapat mengirim "tebusan" supaya mereka dapat melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, biasanya adalah Malaysia. Penggerebekan akhir-akhir ini, telah mendorong para penyelundup untuk mengubah taktik, menahan para migran di kapal-kapal besar dan kecil yang diparkir di lepas pantai hingga mereka dapat memperoleh sekitar 2.000 dollar (Rp 26 juta).

Thailand baru-baru ini menemukan lebih dari 70 bekas kamp dekat perbatasan dengan Malaysia, yang terbesar di antaranya ditemukan Selasa. Kamp tersebut tampaknya baru diabaikan, dibangun dengan baik dan dapat menampung 800 orang, menurut Letjen Prakarn Chonlayuth, komando regional selatan Thailand.

Puluhan makam massal juga telah digali, dan korban-korbannya diduga sebagai warga Rohingya atau Banglades.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com