Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Membaca China Setelah Setahun Pax Sinica

Kompas.com - 29/12/2018, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGAIMANA situasi bisa berubah hanya dalam satu tahun.

Kembali ke 2017, kita teringat lagi tentang “Pax Sinica”, istilah yang mengacu pada stabilitas global yang didorong China, saat Presiden AS Donald Trump seakan menyerahkan peran kepemimpinan global ke Xi Jinping dari China.

Proyek andalannya, Belt and Road Initiative (BRI), diluncurkan dan siap untuk mengokohkan posisinya di dunia.

Namun sepertinya 2018 adalah tahun yang buruk bagi China. Mengapa?

Pertama, BRI telah gagal. Mereka telah menjadi sasaran beragam kritik dan kekonyolan. Di seluruh belahan dunia proyek-proyek yang terkait BRI dinilai terlalu mahal dan tidak sesuai dengan kebutuhan perkembangan negara tujuan.

Baca juga: Sekolah di China Kembangkan Seragam Pintar untuk Awasi Siswanya

 

Mereka juga dipenuhi oleh korupsi, inkompetensi, dan kepentingan strategis China.
Padahal, kita membayar mahal untuk itu, tapi mereka yang mengambil manfaatnya.

Di Afrika, setelah setahun beroperasi, proyek kereta Nairobi-Mombasa mengakumulasi kerugian besar, karena kargo di rute kritikal ini masih bertumpu di truk dan lori.

Sementara di Sri Lanka, pelabuhan Hambantota nyatanya tidak berguna sampai akhirnya harus diserahkan kepada operator China—ini sebuah contoh memalukan dari debt-trap diplomacy (diplomasi perangkap utang).

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan yang baru terpilih secara tegas mengkritik proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) sebesar 60 miliar dollar AS– sebuah proyek andalan BRI juga.

Selain infrastruktur, tuduhan spionase industri (termasuk yang melibatkan Huawei) juga telah membuat pihak Barat makin curiga dengan korporasi China, terutama dengan BUMN.

Keretakan juga mulai terlihat di perekonomian China dan negara adidaya tersebut terlihat makin lemah. Utangnya meningkat, diestimasi sebesar 3 kali dari PDB-nya, ditambah dengan kelebihan pasokan properti telah menimbulkan kekhawatiran akan sebuah krisis.

Pertumbuhan ekonomi melambat, data awal mengindikasikan beberapa provinsi akan tidak mencapai target PDB tahunannya.

Tekanan deflasioner juga memuncak, disebabkan oleh pelemahan permintaan dari konsumen dan investor domestik – tanda bahwa kepercayaan terhadap pertumbuhan China cepat meredup.

Perbedaan pendapat antar pejabat China juga makin berkembang. Mendekati peringatan 40 tahun reformasi dramatis Deng Xiaoping, banyak pengamat berpendapat bahwa Xi Jinping, meskipun memiliki otot politik, belum dapat dikatakan sebagai pemenang.

Ditambah dengan tekanan brutal Xi kepada kaum etnik Muslim Uyghur di Xinjiang –muncullah gambar sebuah pemimpin yang sedang di tengah pertarungan. Meskipun, sunyinya respons dari pemimpin Muslim di seluruh dunia bisa dilihat sebagai bukti masih tersisanya pengaruh China.

Baca juga: Dituduh Jadi Mata-mata China, CEO Huawei Angkat Bicara

Menghadapi perlawanan dari luar dan perlambatan dari dalam, Xi harus hati-hati dalam memainkan kartunya. Meskipun seluruh dunia awalnya mengesampingkan Trump, saat ini jelas bahwa dia serius--paling tidak dengan China.

Sikap anti-China-nya memiliki dukungan bipartisan kuat—susah membayangkan Partai Demokrat, yang baru saja mengokohkan dirinya di kongres, melawan strategi ini.

Gabungan dari kegagalan BRI, kerapuhan ekonomi, dan sentimen negatif internasional membuat semakin sulit untuk memprediksi langkah China ke depan.  Jika Beijing sampai terdesak, mereka memiliki beberapa pilihan.

Pertama, mereka bisa memilih isolasi, meskipun secara historis kebijakan tersebut tidak pernah menguntungkan.

Kepemimpinan Qing yang terlalu fokus ke dalam dan berpandangan pendek, serta sempat melumpuhkan Tiongkok di mata para negara Barat, justru mulai melihat keluar dan mendorong perdagangan.

Bukan sebuah kebetulan bahwa proses ini bersamaan dengan penaklukan kolonial dari sebagian besar Asia.

Kedua, Beijing bisa memilih langkah yang lebih agresif, dengan menghiraukan kekhawatiran geopolitik dan ekonomi para tetangganya. Melihat ekspansi China ke Laut China Selatan, Beijing bisa saja memilih sebuah serangan pencegahan, seperti serangan Jepang ke Pearl Harbor – yang dipicu oleh embargo minyak dari AS.

Kemungkinan ketiga dan yang paling mungkin terjadi adalah Beijing memilih kompromi, dengan membeli barang-barang AS dan menegosiasi ulang proyek-proyek BRI utama.

Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad telah memaksa China untuk memikirkan ulang proyek East Coast Rail Link yang penuh skandal. Bahkan Myanmar, sebuah negara klien China, pun telah menurunkan harga proyek pelabuhan laut dalam Kyaukpyu dari harga 7,2 miliar dollar AS yang sangat diinflasi, menjadi 1,3 miliar dollar AS.

Selama China masih sering ikut campur dengan tetangganya di Asia, negara-negara lain akan tetap senang melihat sang “preman lokal” ditekan oleh “bully” yang lebih besar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com