Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dicari, Istri Asal Asia untuk Pria dari "Surga Terakhir di Bumi"

Kompas.com - 28/04/2017, 09:04 WIB

KOMPAS.com - Kepulauan Faroe kekurangan populasi perempuan. Kondisi ini mendorong pria-pria di sana mencari istri dari tempat yang jauh, Thailand dan Filipina khususnya.

Namun bagaimana rasanya bagi para perempuan yang menukar cuaca tropis dengan kepulauan yang sangat berangin ini?

Saat Athaya Slaetalid pertama kali pindah dari Thailand ke Kepulauan Faroe, musim dingin bertahan selama enam bulan.

Dia harus duduk di depan pemanas sepanjang hari. Maklum, kepulauan yang terdiri 18 pulau ini, terletak di antara Norwegia dan Islandia.

"Orang-orang mengajak saya untuk ke luar karena matahari sedang bersinar, namun saya mengatakan, 'tidak! tinggalkan saya sendiri, saya kedinginan'," ucapnya.

Awalnya, hijrah ke tempat ini sejak enam tahun yang lalu merupakan hal berat bagi Athaya.

Dia bertemu suaminya, Jan, ketika pria itu bekerja dengan seorang teman yang memulai usaha di Thailand.

Jan sudah tahu bahwa akan sangat menantang bagi Athaya untuk pindah ke Kepulauan Faroe.

"Saya khawatir karena apa yang dia tinggalkan dan apa yang dia tuju sama sekali berlawanan," kata Jan.

"Namun saya mengenal Athaya, dan saya tahu dia akan mengatasinya."

Ada lebih dari 300 perempuan dari Thailand dan Filipina yang saat ini tinggal di Kepulauan Faroe.

Kelihatannya tidak banyak, namun di kepulauan yang hanya berpenduduk 50.000 orang, para perempuan ini menjadi etnis minoritas terbesar.

Beberapa tahun belakangan, penduduk Faroe mengalami penurunan jumlah populasi karena anak muda pindah ke luar negeri. Biasanya, mereka menempuh studi, dan tidak kembali lagi.

Berdasarkan catatan resmi, kaum perempuan cenderung menetap di luar negeri.

Hasilnya, menurut Perdana Menteri Axel Johannesen, warga Faroe memiliki "defisit jender" mengingat jumlah pria lebih banyak 2.000 orang.

Hal ini menyebabkan para pria Faroe mencari asmara di luar kepulauan melalui internet.

Banyak, -meski tidak semua, perempuan Asia yang bertemu suami mereka lewat internet, sebagian lewat situs kencan komersial.

Sementara, sebagian yang lain membuat koneksi melalui media sosial, atau pasangan Asia-Faroe lainnya.

Bagi mereka yang baru datang, kejutan budayanya bisa menjadi lebih dramatis.

Kepulauan Faroe merupakan bagian dari Kerajaan Denmark. Di wilayah ini warganya memiliki bahasa sendiri -berasal dari Old Norse, dan budaya yang unik -khususnya menyangkut makanan.

Kuliner Kepulauan Faroe, antara lain daging kambing yang difermentasi, ikan kod yang dikeringkan, dan terkadang daging ikan paus dan lemak anjing laut.

Jelas sekali perbedaannya dengan masakan Asia yang dilengkapi rempah-rempah tradisional.

Meskipun suhu di Kepulauan Faroe tidak akan pernah sedingin negara tetangga Islandia, iklim yang basah dan dingin menjadi tantangan bagi banyak orang.

Hari yang baik di musim panas hanya mencapai 16 derajat celcius.

Athaya adalah seorang perempuan yang percaya diri yang selalu tersenyum.

Saat ini, dia menekuni bisnis restoran di Torshavn, Ibu Kota kepulauan Faroe.

Dia dan Jan tinggal di sebuah rumah yang nyaman di bantaran sebuah fjord -laut yang dalam, sempit, dan memanjang- yang dikelilingi pegunungan yang dramatis.

Namun, dia jujur mengenai bagaimana sulitnya pindah negara pada awalnya.

"Saat putra kami, Jacob, masih bayi, saya di rumah sepanjang hari tanpa seorang pun yang dapat diajak bicara," kata dia.

"Penduduk yang lain adalah orangtua dan kebanyakan tidak berbicara Bahasa Inggris."

"Orang-orang seumuran saya bekerja dan tidak ada anak-anak untuk diajak bermain bersama Jacob."

"Saya sangat sendiri. Jika Anda tinggal di rumah di sini, Anda benar-benar tinggal di rumah."

"Saya bisa katakan saya tadinya depresi. Namun saya tahu akan seperti itu selama dua atau tiga tahun."

Kemudian, saat Jacob mulai masuk taman kanak-kanak, dia mulai bekerja di perusahaan katering dan bertemu perempuan Thailand lainnya.

"Itu hal yang penting, karena saya bisa membangun jaringan. Saya merasakan di rumah kembali."

Begitu pula dengan Krongrak Jokladal. Perempuan ini juga merasa terisolasi saat dia tiba dari Thailand.

Suaminya, Trondur, adalah seorang pelaut dan bekerja jauh dari rumah selama beberapa bulan dalam satu waktu.

Dia memulai usaha pijat Thai sendiri di pusat Kota Torshavn.

"Anda tidak dapat bekerja dengan jam kerja biasa jika memiliki bayi, dan meski mertua saya membantu merawat bayi saya."

"Menjalankan usaha sendiri berarti saya dapat memilih jam kerja saya," kata dia.

Pekerjaan itu jauh dari pekerjaan lama Krongrak, sebagai kepala divisi akuntan di pemerintah daerah Thailand.

Namun Krongrak bisa dibilang unik karena menjalankan bisnisnya sendiri.

Bahkan, untuk perempuan Asia berpendidikan di Kepulauan Faroe, tantangan bahasa membuat mereka harus bekerja di tingkat yang lebih rendah.

Perdana Menteri Axel Johannesen berkata, membantu pendatang baru mengatasi ini adalah hal yang perlu dianggap serius oleh pemerintah.

"Para perempuan Asia yang datang sangat aktif di bursa kerja. Itu adalah kabar baik," kata dia.

"Salah satu prioritas kita adalah untuk membantu mereka belajar bahasa Faroe, dan ada program pemerintah yang menawarkan kelas bahasa gratis."

 

Kristjan Arnason mengingat kembali usaha yang dilakukan Bunlom, istrinya yang berasal dari Thailand, yang tiba di Kepulauan Faroe pada tahun 2002, untuk belajar Bahasa Faroe.

"Setelah hari yang panjang di kantor, dia akan duduk membaca kamus Inggris-Faroe," katanya.

"Dia sangat berdedikasi."

"Saya beruntung," tambah Bunlom.

"Saya katakan kepada Kristjan bahwa jika saya harus pindah ke sini dia harus mencarikan saya pekerjaan. Dan dia melakukannya."

"Saya pun kini bekerja dengan orang-orang Faroe di hotel sehingga saya harus belajar bagaimana berkomunikasi dengan mereka."

Pada masa ketika imigrasi menjadi topik sensitif di banyak belahan Eropa, masyarakat Faroe terlihat sangat menerima pendatang asing.

"Saya kira karena imigran yang kita lihat sejauh ini kebanyakan perempuan, juga membantu," kata politisi lokal Magni Arge, yang juga duduk di Parlemen Denmark.

"Mereka datang dan bekerja dan tidak menyebabkan masalah sosial."

Antonette Egholm, yang berasal dari Filipina pun mengaku tak pernah merasakan sentimen anti-imigran. 

"Orang-orang di sini ramah," ujar dia.

"Saya belum pernah mendapatkan reaksi negatif karena saya orang asing. Saya tadinya tinggal di kota metropolitan Manila dan di sana kami khawatir tentang macet dan polusi dan kejahatan."

"Di sini kami tidak perlu khawatir tidak mengunci pintu, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis. Di negara asal kami harus membayar."

"Dan di sini anda bisa secara spontan memanggil seseorang di rumahnya, tidak formal. Bagi saya, hal itu terasa seperti di Filipina."

Seperti Antonette, suaminya, Regin, yakin bahwa keberagaman adalah sesuatu yang perlu diterima bukan ditakuti.

"Sesungguhnya kita membutuhkan orang-orang baru di sini," tambah dia.

"Saya senang melihat banyak anak-anak sekarang yang memiliki orangtua campur."

Athaya Slaetalid pun berkisah, bagaimana sebagian teman-teman Thailand-nya menanyakan mengapa dia tidak meninggalkan kampung kecil itu?

Dia disarankan pindah ke ibu kota, tempat di mana hampir 40 persen penduduk Kepulauan Faroe tinggal.

"Tidak, saya tidak perlu melakukan itu," katanya.

"Saya bahagia di sini sekarang, bukan hanya sekadar bertahan tapi juga bekerja untuk keluarga kami."

"Lihat," kata dia, saat kami memasuki taman yang menghadap fjord.

"Jacob bermain di samping pantai. Dia dikelilingi bukit yang dipenuhi kambing dan terekspos dengan alam."

"Kakek neneknya tinggal di ujung jalan. Tidak ada polusi dan tidak ada kejahatan. Tidak banyak anak yang memiliki ini akhir-akhir ini. Ini bisa saja surga terakhir di bumi."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com