Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

U Tin Win: Muslim Myanmar Merenungkan Masa Depan

Kompas.com - 02/02/2017, 18:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Jumlah warga Muslim di Myanmar juga masih diperdebatkan. Pemerintah menyatakan bahwa kelompok muslim tidak lebih dari 4 persen populasi, sedangkan LSM independen mengklaim angkanya mencapai hampir 12 persen.

Etnis muslim Myanmar saat ini mengalami banyak kesulitan ketika berurusan dengan pemerintah karena praktik diskriminasi yang sudah meresap di masyarakat. Tin Win, misalnya, menemui berbagai macam kesulitan untuk mendapatkan kartu identitas bagi cucu-cucunya.

Ini sangat sulit. Tanpa kartu identitas (yang berwarna merah jambu lebih baik), akan sangat sulit untuk membuka rekening bank, mendapat dokumen perjalanan atau membeli properti. Namun, ketika saya menanyakannya tentang "The Lady" Aung San Suu Kyi, dia menjawab dengan tegas: "Saya adalah pendukungnya".

Hal ini mungkin cukup mengejutkan pengritik-pengritik Aung San Suu Kyi di seluruh dunia. Namun, barangkali itu dapat dimengerti mengingat kerentanan kelompok minoritas ini, ditambah dengan kelemahan pemerintah saat ini dalam berurusan dengan kelompok militer.

Tin Win bisa dibilang tumbuh dengan warga Myanmar yang independen. Kemungkinan bahwa negara yang dicintainya ini akan memperlakukan dia dan keluarganya dengan buruk sangatlah mengerikan dan meresahkan. Demi kebaikan negara dan dirinya, kejatuhan Myanmar menuju sektarianisme harus dihentikan.

Kematian Ko Ni yang Tin Win lihat bukan karena alasan religi melainkan politis adalah sebuah tragedi. Sebab itu penting mengambil pelajaran dari Indonesia, seperti soal kebutuhan reformasi politik, keberagaman budaya, supremasi sipil melawan militer dan desentralisasi, agar tidak dilupakan oleh pemimpin-pemimpin Myanmar.

Di saat yang sama, sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk mengakui besarnya tantangan yang dihadapi Myanmar dengan ekonomi yang masih berkembang dan kemiskinan yang merajalela.

Pertumpahan darah di Rakhine harus dihentikan dan aksi kita tidak boleh membahayakan nyawa jutaan etnis muslim yang tinggal di Myanmar. Mereka bisa mengalami nasib seperti etnis Rohingya jika masalah ini tidak segera diselesaikan dengan kepala dingin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com