Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Kisah Hlaing Min dan Bagaimana ASEAN Mengecewakannya

Kompas.com - 05/01/2017, 13:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

"Tidak ada harapan bagi kami. Setiap hari sama saja. Kami harus bangun pada jam 5 pagi, bekerja selama 20 jam sehari. Dan saya harus melakukan semuanya mulai dari menangkap ikan, melompat ke dalam jaring dan membersihkannya, bahkan saya pun harus memasak. Kami tidak boleh sakit, dan harus terus bekerja. Jika tidak, kami dipukul. Mereka hanya memberi obat yang paling sederhana jika kami sakit. Kami dipaksa bekerja tanpa istirahat… Perlakuan kapten kapal terhadap kami seperti bukan perlakuan manusia. Itu binatang punya tindakan."

Hlaing Min, laki-laki Myanmar berumur 30 tahunan ini sangat berterus-terang ketika menceritakan soal perbudakaan yang dialaminya selama dua setengah tahun di sebuah kapal penangkapan ikan di perairan Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia bagian timur.

Berangkat dari kota Myawaddy di Myanmar – terletak tepat di perbatasan Myanmar dan Thailand – Hliang Min adalah satu di antara ratusan warga Myanmar yang kisah hidupnya diceritakan oleh Associated Press (AP) dalam sebuah rangkaian artikel tentang perbudakan dan penangkapan ikan tuna di Laut Arafura pada akhir Maret 2015.

Dia juga seorang korban dari kegagalan ASEAN dalam memperhatikan warga-warganya yang rentan terhadap penindasan – pada saat yang sama era komunitas ekonomi ASEAN (AEC) yang sangat dibanggakan dimulai.

Ayah Hlaing Min telah meninggal ketika dia baru berumur 4 tahun, meninggalkan ibunya seorang diri untuk merawat dia dan kedua saudara kandung perempuannya.

Ekonomi Myanmar yang parah pasca-Revolusi Saffron pada 2007 dan pernikahan mendorong dia untuk mencari mata pencaharian yang lebih baik – seperti orang Myanmar lainnya – melewati perbatasan di Thailand.

Setelah mengalami beberapa kesulitan, ditambah lagi akan segera memiliki seorang anak – Hlaing Min merasa akhirnya mendapat kesempatan yang sangat baik: “Beberapa orang Myamar datang dan mengatakan, ‘Hey, upah kamu sangat rendah di sini, bagaimana kalau kamu pergi ke Malaysia dan mendapat upah yang lebih tinggi.’ Saat itu saya hanya memperoleh sekitar 5.000 bath tiap bulan, sementara upah yang mereka tawarkan sebesar 10.000 bath, tentu sangatlah menggiurkan.

Hlaing Min dijanjikan bekerja di “Pinang”, Malaysia dan akan menerima 8.000 bath sebagai uang muka. Dia memberikan uang tersebut ke istrinya yang sedang hamil 6 bulan, dan mengatakan bahwa dia akan pergi selama 6 bulan.

Pada Oktober, dia sampai ke kota pelabuhan Thailand bernama Samut Sakhon.

“Saya masih bisa mengingat itu adalah sebuah perahu besar berwarna kuning. Ada 17 orang, semuanya dari Myanmar. Itu adalah perjalanan yang sangat panjang. Tiga belas hari kami menempuh perjalanan lewat laut hingga sampai ke tujuan. Semua orang tertawa ketika saya bertanya: ‘Apakah ini Malaysia?’ Bukan, mereka berkata. Ini Indonesia. Ini Benjina. Di situ saya merasa bahwa saya sudah kena tipu”

Nasib ke-17 orang itu pun berakhir sebagai budak di atas kapal-kapal penangkapan ikan, berada dalam kekuasaan kelompok warga Thailand, yang berkongsi dengan oknum dari Myanmar dan Indonesia. Upah mereka jarang dibayar. Bahkan Hlaing Min dan kawan-kawannya pun kehilangan harapan untuk bisa kembali ke kampung halaman.

Di daratan, perusahaan yang menjalankan operasi tersebut, yaitu Pusaka Benjina Resources (PBR), mengerahkan security dan patroli bersenjata untuk mencegah pekerjanya melarikan diri. Mereka yang tertangkap akan dipukul secara brutal dan dikurung dalam ruang isolasi.

Terisolasinya daerah tersebut memudahkan perusahaan mengontrol segala sesuatu.
Kepulauan Aru sebenarnya lebih dekat ke Darwin daripada Jakarta, apalagi Yangon. “Ketika kami di lautan, kami tidak tahu hari atau lokasi.”

Hlaing Min beruntung bisa melarikan diri, mencari perlindungan kepada warga lokal. Dia masih mampu bercerita dengan penuh kasih sayang tentang Pak Telli, seorang guru sekolah yang menyelamatkannya dan menerima dia di rumahnya: “Dia membantu kami, memberi kami makanan dan tempat berlindung. Orang-orang lokal di sana sangat murah hati.”

Hlaing Min melanjutkan hidupnya dengan bekerja apa saja, seperti menebang pohon, bercocok tanam, dan dia menjadi bagian dari masyarakat setempat hingga lancar berbahasa Indonesia dengan logat Ambon. Dia keluar dari hutan setelah fasilitas PBR disidak oleh otoritas aparat Indonesia, kira-kira dua setengah tahun kemudian.

Ketika saya pertama kali membaca cerita yang ditulis AP dan akhirnya bertemu dengan Hlaing Min, saya terkejut bukan hanya soal jarak yang sangat jauh yang harus ditempuh dalam kisah ini, tetapi juga bagaimana ASEAN telah mengecewakan buruh-buruh nelayan ini.

Obsesi merkantilisme melalui penyatuan pasar lewat AEC atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadikan ASEAN sebagai pasar yang sangat besar , dengan 650 juta orang, telah mengabaikan kebutuhan para pekerja yang berketerampilan rendah atau tidak memiliki keterampilan seperti Hlaing Min.

Dengan hampir tidak adanya proteksi hukum, beberapa dari 6,7 juta laki-laki dan perempuan Asia Tenggara yang melewati perbatasan untuk mencari pekerjaan telah menjadi korban eksploitasi.

Dampak kemanusiaan dari pengabaian ini – beberapa menganggapnya sebagai keterlibatan dalam suatu kejahatan – sangat mengejutkan.

Hlaing Min akhirnya dipulangkan kembali ke Myanmar dan menemukan sebuah negara yang telah mengalami transformasi: “Segala sesuatu berbeda. Setiap orang memiliki telepon genggam dan dimana-mana terdapat mobil dan motor.”

Sayang, keluarganya bercerai-berai, istrinya bekerja di Thailand, anak perempuannya yang berumur lima tahun tinggal bersama neneknya di Moulmein dan ibunya hidup susah di Myawaddy dimana tidak terdapat banyak kesempatan.

Meski Hlaing Min tidak memiliki pekerjaan penuh waktu, determinasi, daya tarik dan keahlian bahasanya membuktikan bahwa dia pernah menjadi salah satu pemimpin dari ratusan orang yang sebelumnya bekerja sebagai budak di Benjina. Hingga kini mereka masih berjuang untuk mendapatkan upah yang belum mereka terima.

Dia juga telah membantu cerita dan reportase Ceritalah Asean, kelancarannya bercakap Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang sangat berharga.

Hlaing Min mengakui bahwa penderitaannya diperburuk oleh kegagalan pemerintah militer sebelumnya. Tidak ada keraguan dalam pikiran saya bahwa jika ASEAN tidak melakukan sesuatu terhadap keadaan pekerja-pekerjanya yang tidak atau hanya memiliki keterampilan rendah di wilayahnya, maka kisah perih seperti yang Hlaing Min alami, hanya akan menjadi norma.

Selain itu, kejadian ini juga telah menunjukan bagaimana tujuan dari “ASEAN Berfokus Pada Rakyat” hanyalah suatu kepura-puraan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com