Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Swedia Menjadi Eksportir Ekstremis Terbesar di Eropa?

Kompas.com - 08/10/2016, 10:52 WIB

Oleh: Yalda Hakim, dari BBC News

Swedia adalah sebuah negara demokratis yang damai dan sejak dulu menjadi tempat berlindung orang-orang yang melarikan diri dari konflik.

Namun, sekarang ini banyak anak muda yang keluarganya berlindung di sana justru berseberangan dengan Swedia. Lebih dari 300 orang pergi berperang di Suriah dan Irak, menjadikan Swedia, per tahunnya, sebagai salah satu pengekspor kaum ekstremis terbesar di Eropa.

Saya bertemu Sara, 23 tahun, di lantai bawah tanah sebuah gedung di Gothenburg, kota kedua terbesar Swedia. Dia sepertinya mirip dengan para wanita muda Barat lainnya, mengenakan pakaian ketat, kosmetik, dengan sejumlah tato di lengan dan leher.

Namun, dia baru saja kembali dari Raqqa, Suriah, tempat suaminya meninggal karena ikut berperang untuk kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS.

Dia mengingat-ingat sejumlah kengerian yang disaksikannya. Suara wanita Yazidi yang diperkosa di ruangan di sebelahnya, pelanggar hukum dicambuk dan dieksekusi, pengeboman yang tak henti-hentinya serta serangan udara, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari pengantin wanita jihadi.

Melarikan diri

Pada mulanya, hal itu lebih menarik. Dia bahagia dapat berada di sana. Namun, ketika suaminya meninggal, dia mulai menyadari hal-hal asing yang dikaitkan dengan agama yang sudah dianutnya sejak kecil.

"Ketika mereka membakar pilot Jordania, saya menanyakan mereka mengapa membakar seorang manusia. Apakah itu suatu hal yang benar menurut Islam? Yang saya ketahui Anda tidak diizinkan membakar siapa pun."

Dengan bantuan seorang pejuang ISIS lainnya, dia akhirnya berhasil diselundupkan keluar Suriah, melintasi perbatasan ke Turki sebelum diterbangkan kembali ke Swedia. Dia menunjukkan foto Kalashnikov-nya dan anak perempuannya yang cedera, wajahnya tertutup luka peluru.

Mengapa dia memutuskan untuk bergabung dengan ISIS, saya tanyakan?

"Ketika Anda menempuh jalur ini, Anda tidak memikirkan kehidupan dunia. Apakah saya akan mendapatkan tempat tidur yang nyaman. Anda hanya memikirkan cara tercepat untuk meninggal dan memasuki surga."

Setelah wawancara, saya mengantarkannya ke pinggir kota. Saat meninggalkannya, saya melihatnya bermain dengan seekor kucing, mirip dengan para perempuan muda lainnya.

Banyak pendatang

Gothenburg adalah tempat kebanyakan rekrutmen jihad dilakukan. Dengan penduduk sekitar setengah juta orang, kota pelabuhan dan bekas pusat kekuasaan ini menjadi tempat asal dari 100 pria dan wanita yang pergi bergabung dengan milisi yang berperang untuk kekhalifahan.

Kota itu adalah salah satu yang memiliki penduduk yang paling beragam di Swedia. Sepertiga penduduknya berlatar belakang imigran, sebagian besar Muslim, dan di Angered, di kawasan pinggiran sebelah timur laut, proporsinya bahkan meningkat menjadi lebih 70 persen.

Kelangkaan perumahan di Swedia dan sulitnya mendapatkan rumah susun dengan sistem sewa yang dikendalikan untuk pusat kota menyebabkan kebanyakan pendatang baru tinggal di daerah ini, termasuk sebagian dari 160.000 orang yang mendapatkan suaka di Swedia tahun lalu.

Kawasan pinggiran Angered adalah tempat yang sulit untuk diamankan.

Sebagian daerahnya digolongkan "peka", begitulah istilah polisi Swedia, yang mengisyaratkan sering terjadinya pelanggaran hukum dan ketidakteraturan.

Saya diberi tahu bahwa sejumlah tokoh agama berusaha menerapkan syariah Islam. Mereka diduga melecehkan dan mengintimidasi penduduk, sebagian besar wanita, terkait dengan cara berpakaian dan karena mereka menghadiri pesta dengan alunan musik dan para tamu menari.

Mereka mengharamkan kegiatan seperti ini.

Sementara itu, dua pertiga anak-anak putus sekolah pada usia 15 tahun dan tingkat penganggurannya mencapai 11 persen, cukup tinggi berdasarkan standar Swedia. Mereka adalah anak-anak muda rapuh yang menjadi sasaran para ekstremis.

Ketidakpuasan

Seorang pemuda dengan suara lembut, sebut saja bernama Imran, mengatakan kepada saya bahwa kelompok garis keras yang melakukan rekrutmen memanipulasi anak muda yang kehilangan arah dan mendorong mereka untuk bergabung ke ISIS.

"Seperti kakak laki-laki berkata kepada saya, seperti ayah yang mengatakan, 'Berhenti memakai narkoba, berhenti memukul orang lain. Bergabung dengan kami saja. Berperang untuk Allah. Berperang untuk kebebasan Muslim. Muslim dibunuh dan diperkosa. Anda membuang-buang kehidupan. Anda tidak mendapatkan apa pun dari orang Swedia," kata Imran.

"Pria ini adalah seorang penjahat sama seperti saya dan melakukan banyak keburukan. Dan sekarang dia mendatangi saya dan mengatakan, 'Anda harus berubah'".

Imran pada mulanya sangat berkeinginan melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan bergabung ke ISIS. Tetapi, setelah melihat video dan foto kebrutalan mereka, dia mengatakan bahwa dirinya takut dan berkeinginan hidup di Swedia saja.

Situasi di daerah seperti Angered menjadi pemicu ketidakpuasaan yang siap meledak.

Anda menyaksikan ketidakpuasan terutama di antara generasi kedua yang "bukan etnik Swedia", itulah istilah yang dipakai di sini.

Kebanyakan orangtua mereka melarikan diri dari negara yang hancur karena perang untuk mendapatkan keamanan dan menemukannya di Swedia. Mereka sepertinya berterima kasih atas yang diberikan negara itu.

Tetapi, anak-anak mereka sering kali merasa didiskriminasi dan diasingkan sistem yang ada. Kebanyakan anak muda yang saya ajak berbicara merasa mereka terasing dari negara asal orangtuanya, tetapi juga tidak merasa sebagai orang Swedia.

Polisi berkurang

Masalah ini diperburuk dengan peningkatan jumlah pengungsi yang melarikan diri dari perang di Suriah dan Irak. Menerima pengungsi adalah bagian dari jati diri orang Swedia. Tahun lalu, Swedia menerima pengungsi dalam jumlah terbesar per tahunnya dibandingkan negara-negara Eropa lainnya.

Ulf Bostrom, mantan polisi Gothenburg yang menjadi "petugas integrasi" Swedia, memandang masalah ini terjadi karena berkurangnya jumlah polisi.

"Kami kehilangan lebih 50 persen polisi berseragam di sejumlah tempat, 50 persen," katanya.

"Anda bisa menyaksikannya sendiri. Seberapa banyak polisi yang Anda lihat saat berada di sini, di tempat-tempat yang Anda datangi? Apa Anda melihatnya?"

"Tidak," saya jawab.

Bostrom sendiri adalah tokoh yang dikenal masyarakat Gothenburg dan menghabiskan sebagian besar waktunya berusaha membangun kepercayaan dan melibatkan masyarakat imigran dan kelompok keyakinan yang berbeda.

Dia membawa saya ke masjid Bellevue, di pinggiran Gothenburg, yang dilaporkan terkait dengan sejumlah organisasi berhaluan Islam dan teroris. Sebagian besar orang yang pergi ke Suriah dan Irak menghubungi tempat ini dan pemimpin spiritual kelompok militan al-Shabaab, Hassan Hussein, pernah berkunjung pada tahun 2009.

Hukum terorisme tak jalan

Saya kemudian menghadiri shalat Jumat di masjid terbesar Angered tempat 500 orang berkumpul. Imam yang tiba di Swedia dari Suriah tiga tahun lalu tersebut mendorong mereka untuk mendukung hukum dan kebiasaan Swedia dan berusaha keras menggabungkan diri ke masyarakat umum.

Namun, saya diberi tahu, dua orang pria pernah berdiri dan menyerangnya dengan kata-kata karena mengutuk ekstremisme, sebelum diusir ke luar. Ini hanyalah salah satu isyarat tentang seberapa terpisah-pisahnya masyarakat ini.

Apa yang terjadi terhadap orang Swedia yang mengunjungi Irak dan Suriah, saya bertanya kepada Bostrom.

"Jumlahnya sekitar 311 orang, tetapi tidak seorang pun yang kembali, ditahan (oleh pihak berwajib). Saya pikir hukum terorisme kami tidak berjalan dengan baik," katanya.

Baru pada April dilakukan perubahan hukum yang menjadikan perjalanan ke luar negeri dengan maksud melakukan tindakan terorisme sebagai suatu pelanggaran hukum.

Klas Friberg, komandan polisi regional yang juga merupakan atasan Bostrom, mengatakan pemerintah menyadari masalah yang dihadapi dan mengetahui bahwa keamanan perlu diperbaiki di sejumlah kawasan, yang menjadi tempat masyarakat seperti ini terbentuk.

Namun, kenyataannya adalah bahwa anak muda berlatar belakang imigran menjadi radikal sekarang ini.

Mengapa seseorang yang dibesarkan di Gothenburg berkeinginan meninggalkan salah satu negara paling damai dan maju di dunia untuk bergabung dengan kelompok ekstremis di Timur Tengah?

Karena begitu banyaknya dari mereka tidak merasa sebagai warga Swedia. Jadi, kemungkinan pertanyaan yang lebih besar adalah, apakah integrasi dan percobaan keragaman budaya Swedia mengalami kegagalan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com